Sektor Pariwisata Diharapkan Mampu Menggenjot Ekonomi Negara
Sektor Pariwisata Diharapkan Mampu Menggenjot Ekonomi Negara
Pandemi Covid19 telah menghantam berbagai sektor kehidupan di negara ini, termasuk di antaranya adalah sektor ekonomi. Secara mikro, ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara makro, ini bisa dilihat dari pemasukan negara yang mengalami devisit besar-besaran, karena roda ekonomi tidak bergerak sebagaimana mestinya. Maka dari itu, pemerintah harus menghidupkan kembali perekonomiannya dengan sekuat tenaga. Jangankan setelah terdampak pandemi, sebelum pandemi saja sudah mengalami kesusahan dalam melakukannya.
Sektor pariwisata adalah salah satu target dari pemerintah guna menggenjot ekonomi negara ini. Sektor ini diharapkan mampu segera memulihkan perekonomian negara ini. Dan lagi-lagi, kebijakan pemerintah yang satu ini merupakan blunder bagi negara ini. Kenapa demikian? Dilaporkan terjadinya berbagai kerusakan ekosistem akibat kebijakan ini. Masih ingat dengan foto komodo yang dirilis di sebuah media masa, dimana ia nampak menghadang sebuah mesin ekskavator? Itu adalah salah satu bukti bahwa kebijakan ini bisa mengganggu sebuah ekosistem. Belum lagi, tempat-tempat yang seharusnya diguakan untuk bercocok tanam, malah digunakan untuk keperluan pariwisata.
Sebenarnya solusi yang paling benar sudah nampak jelas di depan mata. Sudah jelas Indonesia adalah negara yang kaya akan Sumber Daya Alam. Di dalam tanah Indonesia terkandung humus sehingga memungkinkan berbagai tanaman tumbuh subur di atasnya, minyak bumi, emas, dan masih banyak lagi yang memang vital bagi kelangsungan hidup manusia. Jika Sumber-Sumber Daya Alam tersebut diolah dengan benar dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka negara ini akan menjadi negara yang kaya raya seperti Brunei Darussalam, dimana konon biaya pendidikan di sana terjangkau, termasuk biaya-biaya sektor kehidupan yang lain, seperti kesehatan.
Namun sayangnya solusi tersebut tidak pernah dilirik oleh pemerintah. Mereka lebih memilih sektor pariwisata atau pemaksimalan pajak untuk menggenjot pemasukan negara. Alasan di balik semua ini sebenarnya sudah jelas. Bahkan dengan hanya sedikit analisa saja, kita bisa paham kenapa. Mana mau negara-negara adikuasa membiarkan begitu saja negara-negara kaya raya seperti Indonesia namun lemah bergeliat sedikit demi sedikit menjadi negara kaya raya sesungguhnya? Mana mungkin mereka membiarkan pesaing baru muncul? Sudah bukan rahasia lagi bahwa mereka adalah negara-negara serakah. Sejak dari Perang Dunia 1 sampai sekarang, yang mereka perjuangkan dalam peperangan tersebut semata-mata hanyalah harta.
Dengan kata lain, gerakan penggembosan-penggembosan bahwa Indonesia tidak mampu mengelola Sumber-Sumber Daya Alamnya adalah nyata adanya. Kita dicekoki dengan ide-ide bahwa kita itu bodoh. Sudah begitu, malas bekerja, koruptif, dan lain-lain. Dan ideologi kapitalisme mengekalkan langgengnya gerakan-gerakan ini. Hutang-hutang luar negeri yang mencekik leher mengekalkan kemiskinan negara ini. Penanaman karakter buruk seperti materialisme, tidak takut dosa juga merupakan andil dari ideologi ini. Kita terkondisikan untuk menstandarkan semua hal pada uang. Sekolah untuk mendapatkan pekerjaan, bukan untuk mendapatkan ilmu sehingga kualitas hidupnya meningkat. Hal ini nampak sangat lebih jelas dari program-program pendidikan yang digagas dan dirintis oleh Menteri Pendidikan yang baru, seperti program peleburan industri dan sekolah-sekolah.
Lalu apa solusinya, sehingga SDA-SDA tersebut maksimal untuk rakyat? Kita membutuhkan sebuah sistem dimana korupsi dianggap sebagai tindakan amoral dan memalukan. Dan hukum bagi penindak korupsi juga sangat berat. Kita membutuhkan sistem dimana standar setiap perbuatan bukanlah uang. Kita membutuhkan sebuah sistem ekonomi dimana riba adalah haram sehingga tidak ada lagi hutang luar negeri pencekik leher. kita membutuhkan sebuah sistem dimana standar penyelenggaraan pemerintahan adalah kemakmuran rakyat. Dan itu hanya bisa diwujudkan dengan Islam.
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bagaimana gemilangnya islam menguasai sepertiga dunia. Sebaliknya sejarah juga telah mencatat dengan tinta hitam bagaimana barat merusak dunia dengan perang-perang yang telah mereka lakukan.
Asri Hartanti
Ibu Rumah Tangga