Valentine, Pesta Pagan, dan Kapitalisme
Sejarah Valentine, dari ritual kaum pagan hingga akal-akalan kapitalis.
Datang lagi bulan Februari, datang lagi ramai-ramai soal apakah patut orang Indonesia merayakan yang disebut "Hari Kasih Sayang" tersebut. Bagaimanapun pilihan pembaca yang budiman, mari menengok sejumlah fakta-fakta mengenai tradisi Barat yang sudah mendunia tersebut.
Pesta Pagan
Sejarawan kerap mengaitkan Valentine dengan perayaan Lupercalia pada masa Romawi sebelum datangnya agama Kristen. Ritual pada 13 hingga 15 Februari tersebut jika dilaksanakan sekarang pasti kena semprot Komnas Perempuan.
Noel Lenski, sejarawan di University of Colorado, dikutp npr.org menuturkan bahwa ritual itu melibatkan dukun-dukun pria setengah telanjang yang berlarian di kota sambil memukuli perempuan dengan kulit atau organ dalam binatang korban yang dicelup darah.
Perempuan-perempuan yang dipukuli sukahati saja karena mengharapkan kesuburan dari ritual untuk menghormati dewa Faun tersebut. Selain itu, mabuk-mabukan dan hubungan bebas lelaki dan perempuan juga jamak.
Valentinus yang Mana?
Saat kemudian Kristiani menjadi agama resmi Romawi, tentu acara menjijikkan itu jadi persoalan. Pada 496, Paus Gelasius kemudian mengganti ritual itu dengan hari perayaan anto Valentinus.
Ada masalah lagi di sini karena ada dua Valentinus yang jadi martir pada 14 Februari. Paus kala itu tak bisa memastikan yang mana satu yang mereka rayakan. Merujuk vaticannews.va yang paling ternama adalah Valentinus dari Roma yang dieksekusi pada abad ke-3 karena menolak titah kaisar agar para pemuda tak menikah. Valentinus lainnya adalah seorang uskup yang hidup di Terni di Italia. Sementara ada satu lagi Valentinus dari Afrika yang hidup saat itu.
Sehubungan tak jelas Valentinus yang mana satu yang dirayakan, Vatikan pada 1960-an mencabut tanggal 14 Februari dari daftar hari-hari santo. Artinya, saat ini Valentine bukanlah perayaan Kristiani.
Bukan Hari Kasih Sayang
Sejak dititahkan sebagai pengganti ritual tak senonoh Romawi, Hari Santo Valentine sedianya tak pernah soal cinta-cintaan. Menurut Elizabeth White Nelson dalam Market Sentiments, bukunya soal komersialisasi Valentine, baru pada 1375 ada puisi soal bertepatannya Hari Santo Valentine dengan musim kawin burung-burung di Inggris. Dari situ orang-orang mulai menyematkan Valentine pada surat cinta mereka.
Di Prancis, pada abad ke-17, perayaan Valentine sampai-sampai dilarang karena menimbulkan kerusuhan. Pasalnya, kala itu di masing-masing desa disediakan tungku untuk memilih secara acak nama pasangan. Tak semua pasangan puas dengan cara itu dan kerap memicu pembakaran.
Mencari Cuan
Hingga kemudian pada 1840-an, menurut Elizabeth White Nelson, industri kertas dan percetakan meledak di Amerika Serikat. Hal ini memicu juga bisnis kartu ucapan, termasuk yang dilayangkan pada Hari Valentine. Pada 1849, perusahaan Howland di Massachusetts mulai memproduksi kartu ucapan Valentine diikuti perusahaan-perusahaan lain. Sementara pada 1911 perusahaan lainnya, Hallmark kemudian mengkapitalisasi hal tersebut dan menguasai pasar dengan kampanye yang melekatkan kartu ucapan buatan mereka dengan Valentine.
Sementara pada waktu bersamaan, di seberang Atlantik ada dua bersaudara Richard dan George Cadbury. Sejarawan Carol Off dalam Bitter Chocolate menyatakan bahwa kedua pengusaha coklat itu kemudian punya ide cemerlang membuat cokelat berbentuk hati yang mereka jual pada Hari Valentine dan mengkampanyekannya sebagai simbol romantisme.
Dari dua upaya mencari cuan perusahaan percetakan dan perusahaan cokelat itulah dunia mengenal perayaan Valentine seperti saat ini.