Kiprah Al-Ghazali dan Zaman Keemasan Islam
Kiprah Al-Ghazali dan Zaman Keemasan Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Zafar Aziz Chaudhry, menulis sebuah kolom yang dimuat di laman Daily Times tentang kiprah Al-Ghazali dalam kaitannya dengan zaman keemasan Islam. Dia mengawali tulisannya dengan menyebut Al Ghazali telah diakui oleh Encyclopedia Britannica dan juga oleh Stanford Encyclopedia of Philosophy sebagai filosof Muslim terbesar.
"Pengaruhnya tidak terbatas pada Islam saja tetapi sebagian besar gagasannya diikuti dan diedarkan secara luas di kalangan sarjana dan filsuf Kristen dan Ibrani. Buku abad ke-11 berjudul The Incoherence of the Philosophers menandai perubahan besar dalam epistemologi Islam," jelas Aziz Chaudhry.
Al-Ghazali meyakini, kata dia, semua peristiwa dan interaksi kausal bukanlah produk dari konjungsi material, melainkan kehendak Tuhan yang bersifat dekat dan kekinian. Dalam karya terbesarnya, Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan doktrin dan praktik Islam dan menunjukkan bagaimana ini dapat dijadikan dasar ketaatan yang mendalam, yang mengarah ke tingkat tasawuf, atau mistisisme yang lebih tinggi.
"Zaman Keemasan Islam, dari abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-13, adalah salah satu periode terbesar perkembangan pengetahuan dan kemajuan manusia, dengan Baghdad sebagai titik fokusnya,"paparnya.
Terlepas dari kontribusi besar Al Ghazali terhadap kumpulan praktik Muslim, lanjutnya, teologinya, dan perkembangan mistisismenya, Al-Ghazali tetap menjadi tokoh kontroversial karena perang salibnya melawan filsafat Yunani dan pengetahuan Barat menjadi sorotan.
"Kebanyakan kritikus juga menyalahkan dia karena menjadi penyebab dekadensi Zaman Keemasan Islam, yang akhirnya diruntuhkan oleh invasi Mongol pada 1258,"kata dia.
Diungkapnya, Al-Ghazali telah mulai sebagai seorang yang skeptis selama fase awal ketika ia datang untuk membaca risalah filosofis Yunani yang ditulis oleh sarjana Muslim terkemuka seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Lalu Al-Ghazali menulis risalah filosofis pertamanya, Maqasid al-Falasifa. Al-Ghazali dalam filsafat agamanya pernah berpandangan bahwa Tuhan adalah titik pusat dari seluruh kehidupan manusia yang berperan langsung dalam segala urusan dunia.
Sejak 1095, sebuah krisis mengubahnya, dan dia merasa bahwa filsafat Yunani tidak memiliki ketulusan intelektual sebagai argumentasi. Hingga kemudian dia menulis bukunya yang monumental, "Tahaful al Falasifa" dan "The Incoherence of the philosophers."
"Saat itu, umat Islam dalam sikap mereka terhadap filsafat Yunani dan pengaruh barat dibagi menjadi dua yaitu Asy'ariyah yang menentang setiap inovasi teologi Islam, dan Muktazilah yang percaya pada pemikiran liberal dan memanfaatkan filsafat Yunani,"kata dia.
Al-Ghazali, lanjutnya, mengkritik para pemikir yang mendukung alirah Muktazilah yang menyebabkan sebagian besar sejarawan dan kritikus menyebut al-Ghazali bertanggung jawab atas jatuhnya Zaman Keemasan Islam. Dia menentang pemikiran Yunani dan menganggapnya terlalu sesat dan merusak pemikiran Islam.
"Saya tidak mengerti mengapa al-Ghazali merasa bahwa filsafat Yunani akan merusak iman Islam. Filsafat Yunani berbicara secara historis datang beberapa abad sebelum kelahiran Islam. Dengan demikian Islam sebagai akidah modern dapat dengan logika dan akal yang lebih baik mengoreksi dan memperbarui ideologi yang datang sebelumnya," jelas Chaudhry.
Jika Ghazali adalah seorang ahli ilmu agama dan mistik yang hebat untuk menulis lebih dari 40 buku untuk membela mereka, mengapa dia takut akan pengaruh Yunani yang akan datang dan tren baru dalam pengetahua. Karena sebagai seorang filsuf, dia pasti tahu bagaimana ide-ide baru lahir dan ide-ide lama dibuang.
"Ketakutan dan frustrasinya atas pengetahuan baru begitu parah sehingga menjelang kehidupan selanjutnya, ia mengundurkan diri dari posisi terhormatnya sebagai Profesor dan meninggalkan negaranya untuk mengembara di tanah Arab sebagai seorang mistikus," papar Chaudhry.
Para pengkritik mengatakan, al-Ghazali sebenarnya bertanggung jawab atas pemblokiran pengetahuan dan pengaruh baru dalam agama Islam, yang pada akhirnya menyebabkan jatuhnya Zaman Keemasan Islam. Jika Ghazali tidak begitu keras menentang tren baru dalam Islam dan tidak memberikan persetujuan tersirat kepada para filsuf Islam, maka saat ini umat Islam mengembangkan budaya multi-etnis berdasarkan agama Islam.
"Yang merangkul perasaan universal persaudaraan umum dan pemahaman, keadilan dan kesetaraan melawan masyarakat sempit yang terpecah dan fanatik yang diliputi oleh friksi sekte dan kelas," jelas Chaudhry.
Kajian tentang Zaman Keemasan Islam, dari pertengahan abad ke-8 hingga abad ke-14, begitu menggetarkan dan menggairahkan sehingga membuat seluruh umat Islam merasa bangga atas pencapaian besar para Ilmuwan dan Filsuf Muslim yang masih belum ada tandingannya hingga saat ini.
Periode Kekhalifahan Abbasiyah menghasilkan pertumbuhan yang menakjubkan dari para filsuf dan ilmuwan seperti Ibnu Rusyd (menerjemahkan Aristoteles, dan menulis buku tentang yurisprudensi Islam), al-Kindi (menemukan aturan astronomi dan optik), al-Khawarizmi (Bapak Aljabar dan matematika), dan Ibnu Sina (Bapak Kedokteran, Astronomi dan Logika) yang mengantarkan era keemasan ilmu pengetahuan.
Namun, pencapaian-pencapaian ini, dalam beberapa abad pertama sejarah Islam, terjadi pada masa Kesultanan Islam ketika semua ilmuwan dan pemikir besar yang berasal dari peradaban Yunani, Kristen, Ibrani dan India duduk bersama dalam semangat kerukunan dan kerjasama antar-agama dan bersama-sama menemukan solusi untuk penderitaan mereka bersama.
Akbar S Ahmed, seorang cendekiawan Muslim Pakistan yang sangat terkemuka di Barat yang menjabat sebagai Ketua Studi Islam Ibnu Khaldun di American University, Washington, baru-baru ini menulis sebuah buku 'The Flying Man' di mana dia telah menekankan perlunya interaksi yang sama, keselarasan iman dan kerjasama antara para ilmuwan besar yang termasuk dalam agama-agama Ibrahim untuk duduk bersama dan bersama-sama berjuang melawan penderitaan umum saat ini dari pandemi, pembusukan dan kematian, dengan meremajakan semangat harmoni yang sama
Ada puluhan filosof Muslim yang sangat diuntungkan dari karya-karya terjemahan Yunani yang juga melahirkan banyak penemuan dan penemuan. Ibnu al-Haitsam menemukan kamera pertama dan mampu membentuk penjelasan tentang bagaimana mata melihat. Dokter dan filsuf Ibnu Sina menulis 'Canon of Medicine', yang membantu dokter mendiagnosis penyakit berbahaya seperti kanker.
Sedangkan al-Khawarizmi, seorang matematikawan Persia, menemukan aljabar. Selain itu ada pula ide-ide baru dalam filsafat, astronomi, kedokteran, dan banyak disiplin ilmu lainnya. Selain melestarikan informasi, para cendekiawan ini menyumbangkan wawasan baru di bidangnya dan pada akhirnya meneruskan penemuan mereka ke Eropa.
Setelah al-Ghazali menulis Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of Philosophers), kritikusnya berpendapat bahwa dia menantang para filsuf dengan alasan bahwa mereka tidak dapat memberikan penjelasan rasional untuk argumen yang metafisik. Tantangan ini pun dianggap menghentikan pemikiran kritis di dunia Islam.
Namun, penelitian terbaru tentang Ilmu Islam yang dilakukan oleh berbagai sarjana, lebih khusus oleh George Saliba, seorang Profesor Arab dan Ilmu Islam di Universitas Columbia yang mengkhususkan diri dalam pengembangan astronomi dalam peradaban Islam, telah mempertanyakan argumen ini. Penelitiannya telah menetapkan al-Ghazali sendiri tidak mungkin bertanggung jawab.
Hal itu karena al-Ghazali dianggap menyebabkan kemunduran pada Zaman Keemasan Muslim. Penelitian Saliba menunjukkan bahwa Jika Ghazali telah memblokir pengaruh Yunani maka tentunya karya Al-Shatir pada abad ke-14 dan karya Copernicus pada abad ke-16 tidak akan berkembang.
Al Ghazali dalam filsafat agamanya berpendapat bahwa Tuhan adalah titik pusat dari seluruh kehidupan manusia yang berperan langsung dalam segala urusan dunia. Pengaruh Al-Ghazali tidak terbatas pada Islam, tetapi karya-karyanya beredar luas di kalangan sarjana dan filsuf Kristen dan Ibrani yang merupakan pengagum besarnya.
Para filosof Muslim memberikan wawasan baru di semua cabang seperti filsafat, astronomi, kedokteran, dan banyak disiplin ilmu lainnya, dan akhirnya meneruskan penemuan mereka ke Eropa. Peradaban Muslim setelah periode pencerahan yang mulia harus menderita kejutan pertama dan terakhir dengan invasi Mongol yang menjarah Baghdad dan mengobrak-abrik semua sisa peradaban dan harta pengetahuan termasuk 600 ribu buku di Darul Hikmah Baghdad.
Namun kerusakan yang nyata pada masyarakat Islam mulai tampak pada awal abad ke-13 hingga 15. Saat itu umat Islam sendiri bertanggung jawab atas perpecahan dengan kekerasan di antara umat, dekadensi moral, penurunan aktivitas intelektual dan ilmiah, dan hilangnya dinamisme dalam kehidupan Islam.
Tingginya ketidakpekaan mereka terhadap perolehan pengetahuan dapat dilihat dari fakta bahwa Raja Utsmaniyah Bayazid II menemukan beberapa kesalahan ulama dalam pencetakan Alquran, yang mengeluarkan dekrit pada 1485 yang melarang pencetakan buku di zaman Kesultanan Ottoman. Kekaisaran Ottoman beroperasi selama 350 tahun, di mana zaman Islam benar-benar dilemparkan ke dalam ruang bawah tanah yang gelap.
Selama 350 tahun itu, negara-negara Eropa mengalami kemajuan pesat, dan mencapai era baru Renaisans Eropa. Sedangkan waktu berharga yang sama hilang selamanya oleh pasukan Muslim karena kefanatikan agama mereka.