Obituari Haji Fachrodin di Koran De Locomotief
Obituari Haji Fachrodin di Koran De Locomotief
Obituari Haji Fachrodin di Koran De Locomotief
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Bila ada seorang tokoh Muhammadiyah yang wafat dalam usia relatif masih muda namun punya legasi besar dan berdampak lama, maka mungkin Haji Fachrodin bisa ditempatkan di barisan pertama. Lahir di Yogyakarta dari keluarga abdi dalem keraton pada tahun 1890, ia wafat di kota yang sama pada 28 Februari 1929 dalam usia 39 menjelang 40 tahun, suatu umur yang bagi kebanyakan orang dipandang sebagai awal dari puncak pencapaian manusia alih-alih sebagai penanda akhir dari suatu perjalanan hidup.
Wafatnya Hadji Fachrodin pada tahun 1929 mengagetkan banyak orang, apalagi mengingat kiprah pentingnya baik di Muhammadiyah, Sarekat Islam maupun dunia jurnalistik di Hindia Belanda. Sebagaimana diutarakan oleh Mu’arif dalam Benteng Muhammadiyah: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Haji Fachrodin (1890-1929) (2010: 288-290), para tokoh Muhammadiyah maupun tokoh gerakan kebangsaan lainnya turut merasa kehilangan. Pemakamannya, misalnya, dihadiri oleh Soerjopranoto dan Ki Hadjar Dewantara. Sejumlah media massa kala itu, turut memberitakan wafatnya Haji Fachrodin, termasuk Bintang Timoer, Mataram, Fadjar Asia, Bintang Mataram, De Locomotief, Pandji Poestaka, Soeloeh Ra’jat Indonesia dan tentu saja Soeara Moehammadijah serta Soeara Aisjijah.
Bagaimana dengan media cetak berbahasa Belanda yang dikemudikan oleh redaktur kulit putih Eropa yang secara hierarki sosial sangat berjarak dengan kaum pribumi? Mengapa mereka perlu memberikan ruang di halaman korannya yang terbatas itu pada seorang pribumi yang dalam beberapa kesempatan justru bersuara keras menentang ketidakbijakan pemerintah kolonial?
Salah satu jawabannya bisa dilihat di koran terbitan Semarang, De Locomotief, salah satu koran yang menjadi referensi utama bagi orang Belanda di Hindia Belanda untuk mengetahui perkembangan mutakhir koloni mereka. Koran ini juga punya agen di Amsterdam, memperlihatkan luasnya jangkauan pembacanya yang lintasbenua. Pada edisi Dondergag (Kamis), 28 Februari 1929, koran ini menerbitkan berita tentang meninggalnya Haji Fachrodin. Berita ini ditaruh di halaman pertama, pada kolom kedua dari kiri. Lazimnya, ketika melihat halaman pertama surat kabar, pembaca yang mengerti aksara Latin pertama-tama akan menempatkan perhatiannya di bagian kiri atas, lalu baru bergerak ke sisi kanannya. Maka, penempatan berita wafatnya Haji Fachrodin di bagian kiri atas kolom kedua memberi kesan tentang pentingnya berita ini untuk segera diketahui para pembaca Belandanya (atau kaum pribumi yang bisa berbahasa Belanda).
Berita itu bertajuk ‘Hadji Fachrodin†’. Simbol ‘†’ jelas tidak umum bahkan tidak dikenal di kalangan kaum Muslim pribumi Hindia Belanda kala itu. Hanya mereka yang berasal dari tradisi Eropa Kristen yang memahaminya, dalam konteks ini adalah orang Belanda, karena simbol belati itu dikenal sebagai tanda bahwa orang yang namanya disandingkan dengan simbol itu telah meninggal dunia. Ini memperlihatkan bahwa berita wafatnya Haji Fachrodin telah disesuaikan dengan media yang mempublikasikannya serta audiens yang dituju media itu. Di sana disebutkan bahwa redaktur Yogyakartanya koran De Locomotief menelpon ke kantor redaksi dan menyampaikan bahwa Haji Fachrodin telah wafat.
Diterangkan di sana detail mengenai kematian almarhum serta kiprah pokok almarhum sepanjang hidupnya:
Gisteravond te acht uur is, in den ouderdom van 39 jaar, in de kliniek van “Moehammadijah” overleden Hadji Fachrodin, lid, tevens onder-voorzitter, van het dagelijksch hoofdbestuur van “Moehammadijah”. (Tadi malam pukul delapan, di usia 39 tahun, Haji Fachrodin, anggota yang juga wakil ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meninggal dunia di klinik Muhammadiyah).
Bagi obituari di media massa pada umumnya, yang dipasang oleh keluarga orang yang meninggal, informasi di atas sebenarnya sudah cukup untuk memberitahukan publik tentang wafatnya salah satu anggota keluarga mereka (plus beberapa kalimat lagi mengenai siapa saja anggota keluarga yang berduka serta harapan dan doa bagi almarhum). Tapi, di De Locomotief ini, tidak ada anggota keluarga yang memasang kolom obituari untuk Haji Fachrodin, dan ia sendiri bukanlah anggota keluarga ataupun bagian dari redaksi koran itu. Namun, penjelasan yang diberikan tentang Haji Fachrodin tergolong cukup banyak bagi seorang pribumi Muslim, yang secara sosial-politik berjarak dengan pemerintah kolonial ataupun orang Belanda di Hindia Belanda.
Selepas informasi awal di atas, dikemukakan lebih lanjut siapa itu Haji Fachrodin. Ia disebutkan sebagai putra seorang lurah di Yogyakarta, Hadji Hasim, dan nama kecilnya adalah Djasoeli. Selanjutnya ada pengakuan dari koran tentang signifikansi Haji Fachrodin di lanskap sosial-politik Hindia Belanda. Ia diperkenalkan sebagai seorang tokoh politik dan aktivis kerakyatan di Hindia Belanda, dengan kiprah yang beragam dan pengaruh yang luas:
Op jeugdigen leeftijd reeds bewoog hij zich op het gebied der politiek en der volksbeweging. Hij was o.m. penningmeester van de C.S.I. (Centrale Sarekat Islam). In 1911 wierp hij zich op als promotor voor “Moehammadijah”. Eerst was hij commissaris van het hoofdbestuur, later. [sic] In 1925, vecevoorzitter [sic]. Den geheelen groei der vereniging heeft hij aldus medegemaakt. ….
Di usianya yang masih belia ia aktif di bidang politik dan gerakan kerakyatan. Dia, antara lain, merupakan bendahara C.S.I. (Centrale Sarekat Islam). Pada tahun 1911 ia bertindak sebagai promotor Muhammadiyah. Pertama-tama, ia adalah komisaris pengurus besar, kemudian pada 1925, menjabat sebagai wakil ketua. Ia, dengan demikian, menyaksikan seluruh pertumbuhan persyarikatan itu. Almarhum juga editor di Bintang Islam dan secara khusus ditugasi mengarahkan propaganda untuk Muhammadiyah di luar Jawa; ia beberapa kali mengunjungi Sumatera dan Sulawesi. Di samping itu, dia adalah pendiri percetakan Muhammadijah. Ia tiga kali naik haji.)
Prosesi pemakaman Haji Fachrodin menunjukkan secara publik bahwa kepergiannya bukan hanya kehilangan bagi anggota keluarga, melainkan juga bagi Muhammadiyah, kaum pergerakan, serta masyarakat pribumi Hindia Belanda se-Jawa pada umumnya:
Pukul satu siang ini, dengan minat besar dari kalangan pribumi, penguburan jenazah dilakukan di Pemakaman Kuncen, dihadiri oleh perwakilan Muhammadiyah dari Solo, Surabaya, Klaten, Semarang, Pekalongan dan Kudus).
Obituari itu ditutup dengan penegasan kembali tentang arti penting serta legasi yang ditinggalkan Haji Fachrodin pada Muhammadiyah khususnya dan bagi kemajuan kesejahteraan sosial masyarakat di Hindia Belanda:
Almarhum adalah salah satu anggota Pengurus Besar Muhammadiyah yang paling aktif dan telah berperan aktif dalam pekerjaan sosial komprehensif yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir oleh Muhammadiyah di Yogyakarta dan di tempat lain di Hindia Belanda
Dengan meninjau obituari De Locomotief di atas dapat disimpulkan bahwa bukan hanya Muhammadiyah yang merasakan hasil dari aktivitas sosial Haji Fachrodin, tapi juga masyarakat Hindia Belanda pada umumnya. Obituari di atas, dengan demikian, adalah pengakuan atas partisipasi Haji Fachrodin, terutama melalui Muhammadiyah, dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Hindia Belanda.
Menurut Leo van Bergen (2018: 6), koran De Locomotief ini adalah salah satu koran progresif di awal abad 20 di Hindia Belanda, salah satunya tampak dari usaha pemimpin redaksinya, P. Brooshooft, yang sejak sekitar tahun 1900 kerap menggemakan istilah “Ethische Politiek” atau Politik Etis di ruang publik Hindia Belanda. Walaupun ada perubahan kebijakan redaksi di dekade-dekade berikutnya, namun semangat etis koran De Locomotief ini masih bertahan lama. Barangkali dalam konteks perhatian surat kabar ini pada kemajuan kaum pribumilah kita bisa mencari alasan mengapa kemudian redaksinya memutuskan untuk memberi ruang yang cukup banyak di halaman yang premium pada obituari Haji Fachrodin.
Muhammad Yuanda Zara, Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2021