Lari dari Kematian, Hendak ke Mana?
Hidup ini sebenarnya seperti sebuah perjalanan. Karena itulah kita kerap mendengar istilah
Pernahkah Anda mendengar atau membaca ada yang menyebut "selamat tinggal" kepada orang yang wafat? Rasanya jarang! Biasanya, orang-orang akan mengatakan "selamat jalan" kepada mereka yang baru wafat, bukan "selamat tinggal",
Namun, saya pernah membaca ucapan tersebut di laman media sosial seorang teman. Ketika itu, ia baru saja kehilangan sahabat karibnya. "Selamat tinggal seniorku,” tulis teman itu. Apakah janggal? Mari kita renungkan!
Ucapan selamat tinggal biasanya disampaikan oleh orang-orang yang bersama-sama berjalan, atau berlari, lalu satu di antara mereka berhenti. Orang-orang yang terus berjalan kemudian mengatakan "selamat tinggal" kepada orang yang berhenti.
Hidup ini sebenarnya seperti sebuah perjalanan. Karena itulah kita kerap mendengar istilah "perjalanan hidup". Rasulullah SAW suatu hari berkata kepada Ibnu Umar Ra seraya memegang kedua pundaknya, "Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir." (Riwayat Bukhari).
Ali bin Abi Thalib Ra juga berkata, "Sesungguhnya dunia akan pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat pasti akan datang. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anak. Karenanya, hendaklah kalian menjadi anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia, karena hari ini adalah hari amal bukan hisab, sedang kelak adalah hari hisab bukan amal. (Riwayat Bukhari)
Dari dua Hadits ini kita jadi paham bahwa orang yang wafat seakan-akan telah ditinggal oleh dunia bersama orang-orang yang masih hidup di dalamnya. Langkah orang-orang yang wafat telah dihentikan oleh kematian. Karena itu, ada benarnya juga ungkapan "selamat tinggal" dari orang yang masih hidup kepada orang yang telah wafat.
Hanya saja, orang-orang yang masih hidup dan tetap berjalan atau berlari, ke manakah mereka melangkah? Apakah mereka berupaya lari dari kematian karena takut?
Jika itu yang terjadi, maka larinya adalah sia-sia. Semakin ia berusaha berlari, semakin ia akan frustasi. Sebab, tak ada yang mampu menolak kematian. Tak ada seorang saudara atau sahabat yang mampu menahan kematian dari kita. Selalu saja kematian akan mampu menyusul dan menahan langkah setiap orang yang telah tiba masanya, baik tua maupun muda, kaya maupun miskin, kuat maupun lemah.
Fenomena ini sudah disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat Al Jumu'ah [62] ayat 8. "Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."
Pada surat Qaaf [50] ayat 19, Allah Ta'ala juga berfirman, "Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya."
Kemudian, pada surat An Nisa' [4] ayat 78, Allah Ta'ala berfirman, "Di mana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh."
Bahkan, orang paling mulia sekalipun, yakni Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW), juga akan dihentikan oleh kematian. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya engkau (Muhammad SAW) akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)," (Az Zumar [39]: 30).
Tentang kematian, Rasulullah SAW pada suatu hari berkumpul bersama para sahabatnya. Beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, membuat garis segi empat. Lalu Beliau membuat garis di tengahnya, keluar dari garis segi empat tadi. Beliau kemudian membuat garis-garis kecil di garis yang berada di tengah ini.
Beliau bersabda, "Ini manusia, dan ini ajal yang mengelilinginya, atau telah mengelilinginya. Yang keluar ini adalah angan-angannya. Dan garis-garis kecil ini adalah musibah-musibah. Jika ini luput darinya, ini pasti mengenainya. Jika ini luput darinya, ini pasti mengenainya." Jadi, jika demikian keadaannya, mana mungkin manusia bisa lari dari kematian.
Yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW justru memperbanyak mengingat kematian. Rasulullah SAW bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atas orang itu. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu luas (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atas orang itu," (Riwayat Ath Thabrani dan Al Hakim).
Mengingat kematian akan membuat kita senantiasa terdorong untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangannya, bukan lari darinya. Rasulullah SAW pada suatu ketika duduk di tepi kubur. Beliau menangis berurai air mata hingga tanah di kuburan itu menjadi basah. Lalu Beliau berkata kepada para sahabatnya, "Wahai saudara-saudaraku! Persiapkanlah untuk kalian menghadapi keadaan seperti ini!” (Riwayat Ibnu Majah).
Mari kita isi perjalanan hidup kita dengan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya, sehingga ketika ajal datang menghadang, kita tak lagi bersusaha lari darinya.
Wallahu a'lam. ***
Penulis: Mahladi Murni