Dilematis Antara PTM dan PJJ
Pembelajaran tatap muka memang diyakini bisa menjadi solusi ketika PJJ dirasai kurang efektif.
Sudah hampir dua tahun pandemi Covid-19 melanda secara global. Kondisi pandemi ini mengubah banyak hal di negeri, baik kebiasaan beraktivitas seperti bekerja, belajar, bepergian, hingga kebiasaan berkomunikasi, misalnya dengan menggunakan fasilitas komunikasi dan video yang tersedia di perangkat mobile.Di antara sekian banyak perubahan, yang paling berimbas kepada generasi muda, adalah metode pembelajaran.
Sejumlah lembaga survei baik dalam maupun luar negeri, termasuk salah satunya UNICEF menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama ini dinilai kurang efektif. Ada sejumlah hal yang membuat siswa kurang merasa nyaman dan kurang mendapatkan hasil dari PJJ. Seperti dalam catatan UNICEF pada Juni, 2021, bahwa 66 persen siswa merasa tidak nyaman dengan metode pembelajaran jarak jauh (dikutip dari laman banpaudpnf.kemdikbud.go.id/).
Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan, di mana kondisinya masih ada kesenjangan untuk akses internet. Kualitas akses internet di Jawa dan Bali tentunya jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan kualitas akses internet di pulau-pulau pelosok dan di daerah pedalaman. Masalah kualitas sinyal juga menjadi salah satu catatan. Ada daerah A yang kualitas sinyalnya lebih baik daripada daerah B.
Begitu pula dengan daya beli masyarakat. Tidak semua keluarga mampu untuk membeli laptop atau gawai terakses internet.Sehingga apabila semua daerah mutlak melaksanakan PJJ maka yang terjadi adalah ketidakmerataan dan kesenjangan pendidikan antara satu daerah dan daerah lain, satu keluarga dan keluarga lainnya.
Selain itu materi pembelajaran juga tidak sepenuhnya bisa tersampaikan dengan baik secara jarak jauh. Anak didik punya batasan konsentrasi untuk menangkap ilmu lewat video dan materi secara jarak jauh, belum lagi distraksi lainnya seperti game atau media sosial. Andaikata anak didik kesulitan terhadap satu materi, mereka juga relatif lebih susah untuk bertanya ke teman atau ke gurunya.
Ya, memang ada begitu banyak masalah ketika melakukan PJJ. Daya serap ilmu relatif lebih berkurang dibandingkan pada masa sebelum pandemi ketika masih dilakukan pembelajaran tatap muka (PTM) secara penuh.
Oleh karenanya pemerhari pendidikan baik dari dalam maupun luar negeri juga UNICEF yang cemas akan nasib generasi muda saat ini. Mereka mengaturkan adanya Lost Learning dan Lost Generation karena kondisi pandemi berkepanjangan ini.
Apa boleh buat kesehatan jauh lebih penting. Meminimalkan kontak dan melakukan PJJ akan lebih aman bagi siswa saat penularan Covid-19 begitu masif.Ketika situasi mulai membaik, dan laju penderita mulai menurun, sejumlah sekolah di berbagai daerah mulai melakukan pembelajaran tatap muka secara terbatas. Ada yang berselang-seling, kuotanya tidak sampai 100 persen. Ada juga yang jam belajarnya dipangkas, hanya sampai pukul 11.00 dan lainnya. Pada tahun 2021 kebijakannya disesuaikan dengan lingkungan di sekolah dan daerahnya, apakah masuk level satu, dua, atau tiga, dan empat.
Namun, dengan melihat ketidakefektifan PJJ dan situasi yang mulai makin membaik maka sejak Januari 2022 dilakukan pembelajaran tatap muka 100 persen. Hal ini disambut hangat oleh anak-anak dan guru, namun juga menimbulkan rasa was-was bagi orang tua.
Pembelajaran tatap muka memang diyakini bisa menjadi solusi ketika PJJ dirasai kurang efektif. Namun ancaman Covid-19 sebenarnya masih ada di sekitar kita.Kali ini varian Omicron, yang makin mudah menular, dan angka penderitanya terus merangkak. Oleh karenanya PTM ini juga diwarnai oleh ancaman bahaya Omicron. Apalagi sudah ada beberapa siswa dan guru yang tertular sehingga beberapa sekolah selama beberapa saat kemudian menghentikan PTM dan kembali ke PJJ. Hingga 19 Januari, ada 67 siswa dan 5 pengajar juga 43 sekolah yang ditutup sementara.
Saya sendiri meyakini PTM masih lebih baik untuk metode pengajaran, namun kesehatan jauh lebih prioritas. Oleh karenanya saya setuju bila PTM 100 persen hanya bisa dilaksanakan dengan syarat-syarat yang ketat, yakni adanya pengawasan, guru dan tenaga pendidik sudah vaksin, demikian juga dengan para siswanya, dan lingkungan sekolah dan daerahnya berada di lingkungan yang masuk level 1 dan 2.
Ketika kondisinya sudah seperti saat ini di mana sudah terjadi gelombang ketiga Covid-19 dan di sejumlah daerah sudah memasuki level 3, maka sudah sepatutnya PTM kembali dievaluasi. Seharusnya bukan lagi PTM 100 persen melainkan 50 persen, jika berdasarkan SKB 4 Menteri Tentang PTM Tahun 2022. Di aturan tersebut disebutkan apabila sekolah berada di daerah yang masuk level tiga maka bisa melakukan PTM 50 persen atau PJJ.
Saat ini memang disebut-sebut laju penambahan penderita Covid-19 di sejumlah daerah seperti di Jakarta mulai melandai, namun kita tetap perlu waspada karena juga masih banyak daerah yang angkanya malah naik. Sekolah dan pemerintah daerah perlu lebih ketat dan bijak dalam menentukan metode pembelajaran apakah PTM atau PJJ karena kesehatan siswa dan pengajar juga tak kalah penting.
Ada satu hal yang membuatku penasaran. Sudah hampir dua tahun PJJ diterapkan di sejumlah daerah, apakah sudah ada evaluasi terkait materi, cara mengajar, cara siswa belajar, dan lainnya,sehingga bisa jadi bahan untuk peningkatan kualitas apabila suatu ketika PJJ kembali dilakukan. Jangan hanya menyebut PJJ tidak efektif, namun tidak pernah dilakukan evaluasi terhadap metode PJJ sebelum-sebelumnya.
Terakhir, bisa jadi sudah waktunya pendidikan di Indonesia juga mulai memikirkan metode hibrid, antara PTM dan PJJ hingga pandemi berakhir. Sehingga apabila siswa harus melakukan isoman atau kesehatannya dirasa kurang prima maka ia bisa mengikuti PJJ, sedangkan siswa yang sehat bisa tetap mengikuti PTM.
Metode penentuan PTM dan PJJ ini memang dilematis. Pendidikan memang penting, namun kesehatan tetap lebih prioritas.