Kedai Kopi jadi Tempatnya Para Pemberontak
Di kedai kopi orang bisa berdiskusi apa saja, termasuk mengkritisi penguasa.
JAKARTA — Sejarah kopi tidak bisa dilepas dari kedai kopinya. Saat kopi mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia, di sana pula kedai-kedai kopi mulai didirikan.
Orang-orang biasa menikmati kopi di kedai kopi sembari ngobrol ataupun berdiskusi. Kedai kopi seolah menjadi ruang terbuka bagi sumber segala informasi, dan juga ruang untuk mencerahkan masyarakat. Masyarakat menjadi kritis dalam menyikapi sebuah persoalan, termasuk bersikap kritis terhadap penguasa.
Sejarah telah mencatat bagaimana sejumlah penguasa terganggu dengan kritik yang terbangun dari diskusi di kedai kopi. Para penguasa ini bahkan melakukan berbagai upaya untuk bisa membungkamnya.
Dalam 'Unccommon Grounds' karya Ralp Hattox dikisahkan pada sekitar tahun 1511,Gubernur Mekkah, Khair-Beg, pernah mengeluarkan aturan untuk menutup tempat-tempat minum kopi yang ada di sana. Khair-Beg beralasan tempat-tempat tersebut telah membuat masyarakat lupa akan tugasnya untuk bekerja dan beribadah. Bahkan Khair Beg mengeluarkan fatwa bahwa kopi sama dengan wine, yakni haram untuk diminum.
Pada Abad ke-15, kopi tempat-tempat ngopi sudah banyak dibuka di sana. Peziarah dan jamaah haji yang datang ke Mekkah dan Madina, telah mendorong semakin popularnya kopi di dunia.
Desas-desus menyebut alasan sebenarnya Khair Beg menutup dan mengeluarkan fatwa haram untuk kopi lantaran dirinya tidak suka dan khawatir posisinya terancam. Hal ini karena diskusi-diskusi di kedai kopi kerap kali muncul kritikan dan rasa tidak puas terhadap Khair Beg. Bahkan, di tempat minum kopi, masyarakat mengolok-olok Gubernur Mekkah tersebut.
Alih-alih menerima, tindakan Khair Beg justru mendapat penolakan keras dari masyarakat. Termasuk dari ulama-ulama yang tak sejalan dengan Gubernur Mekkah itu. Akhirnya, penutupan dan fatwa haram untuk kopi dibatalkan.
Kasus serupa juga terjadi di tanah Inggris. Raja Charles II juga pernah mengeluarkan aturan untuk menutup kedai-kedai kopi pada tahun 1675.
Saat kedai kopi pertama dibuka di Inggris pada 1652, tempat ngopi ini kemudian meningkat dengan cepat. Hingga pada 1700 sudah ada lebih dari 2000 kedai kopi di London.
Kedai-kedai kopi di Inggris biasa dikenal dengan sebutan “Penny University”, sebab hanya dengan membeli kopi seharga beberapa penny, orang-orang bisa nyaman duduk, bersosialisasi dan terutama berdiskusi dengan orang-orang pintar tentang masalah-masalah aktual di negara itu.
Di kedai-kedai kopi, orang-orang merasa lebih nyaman dan aman berdiskusi tentang topik-topik berat, berbeda dengan di pub yang menjual bir. Karena kopi tidak memabukan, jarang perdebatan sengit berakhir dengan adu jotos.
Orang-orang yang kerap berdiskusi di kedai kopi pun menjadi kelompok yang ‘tercerahkan’. Di kedai kopi mereka mendapat pengetahuan baru.
Ketika kedai kopi semakin berkembang, makin banyak perbincangan kritis atas kebijakan penguasa di sana. Raja Charles II sepertinya terganggu dengan hal ini.
Kebetulan saat itu, ada petisi dari perempuan-perempuan di Inggris juga memprotes karena hanya pria yang boleh berada di kedai kopi.
Raja pun akhirnya mengeluarkan aturan untuk menutup kedai-kedai kopi. Selain karena adanya petisi dari kaum perempuan, Raja juga gerah dengan perbincangan dan diskusi di kedai kopi yang kerap mengkritik dan mengolok-olok dirinya.
Namun, aturan tersebut mendapat reaksi keras dari masyarakat hingga Raja Charles akhirnya membatalkan keputusannya.
Selain itu, jika kita melongok revolusi di Amerika Serikat, maka kedai kopi adalah markas para revolusioner. Salah satunya adalah The son of liberty. Mereka sering melakukan pembicaraan strategi revolusi di Green Dragon Travern di Boston.
Sejarah organisasi republik di Prancis saat revolusi juga berasal dari kedai kopi. Para pengunjung kedai kopi yang berasal dari kaum revolusioner dan pemikir yang pada akhirnya melahirkan organisasi ini. Hal itu membuat banyak getir seorang loyalis kerajaan karena orang membicarakan persoalan politik di kedai kopi.