Moto 'Lebih Baik 10 Tahun Berunding Daripada 1 Hari Berperang’ dan Rusia Ukraina
Supian menilai, ada kemungkinan konflik Rusia-Ukraina akan berakhir di meja perundingan. Sejarah telah membuktikan bagaimana diplomat Uni Soviet mampu menghindarkan konflik perang nuklir pada 1962.
Dosen Program Studi Sastra Rusia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad), Supian, M.A., PhD, menilai, serangan militer Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari lalu merupakan konflik antar saudara kandung. Hal ini disebabkan, kedua negara berasal satu rumpun budaya yang sama, yaitu Slavia Timur.
“Ini sangat disayangkan terjadi konflik kakak-adik. Hal ini bisa diredamkan dengan budayanya sendiri,” ujar Supian dalam siaran persnya, Senin (28/2).
Supian yang pernah tinggal selama 7 tahun di Kota Moskow dan Voronezh, perbatasan Rusia-Ukraina mengatakan, Rusia dan Ukraina layaknya seperti Indonesia dan Malaysia. Karena itu, secara karakter masyarakat dan bahasa, Rusia-Ukraina tidak jauh berbeda.
Supian menilai, ada kemungkinan konflik Rusia-Ukraina akan berakhir di meja perundingan. Sejarah telah membuktikan bagaimana diplomat Uni Soviet mampu menghindarkan konflik perang nuklir pada 1962.
“Ada satu moto yang dipegang teguh para diplomat Rusia-Ukraina hingga saat ini, yaitu ‘lebih baik 10 tahun berunding daripada 1 hari berperang’. Slogan ini jadi kurikulum wajib calon diplomat,” kata Supian.
Moto tersebut lahir dari Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Gromyko. Ia berhasil menjadi “pahlawan” yang mampu menghindarkan konflik perang nuklir di Kuba melalui meja perundingan.
Menyelisik profil Andrei, sang pahlawan Uni Soviet, ternyata menarik. Supian menemukan, Andrei Gromyko berdarah Ukraina. Hal ini terlihat dari nama belakangnya yang merupakan marga Ukraina. Meski berasal dari Ukraina, Andrei kemudian besar di Moskow sampai ia wafat.
Dari sejarah ini, Supian menemukan bahwa Rusia dan Ukraina selayaknya saudara kandung yang tidak bisa dipisahkan. Konflik terjadi akibat soal politik. “Saya yakin konflik ini akan berakhir di meja perundingan,” katanya.
Dari pengalamannya juga, kata Supian, ia menemukan banyak warga negara Ukraina yang sehari-hari sekolah ataupun bekerja di Rusia. Dua di antaranya berasal dari Provinsi Donestk dan Luhansk, wilayah di Ukraina yang akhirnya diakui kedaulatannya oleh Rusia. Setiap akhir pekan, mereka mudik ke Ukraina.
“Secara kekerabatan masyarakat, sebenarnya tidak ada masalah. Sampai sekarang pun masyarakat Rusia dan Ukraina biasa saja,” katanya.
Kendati serumpun, kata dia, budaya ternyata menjadi akar pemicu perang Rusia-Ukraina. Supian menjelaskan, larangan penggunaan bahasa Rusia di sekolah Donestk dan Luhansk memicu lahirnya konflik tersebut. Padahal, bahasa Rusia menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan di dua provinsi tersebut.
Faktor ekonomi memperburuk masalah tersebut. Sebagai negara bekas pecahan Uni Soviet, tingkat ekonomi Ukraina ternyata tidak semaju Rusia yang notabene memegang saham terbesar dari aset Uni Soviet.
Karena itu, Ukraina membuka peluang investasi yang besar dari luar agar bisa mengatasi ketertinggalan di bidang ekonomi.
“Sedikit demi sedikit kemudian semua ingin seperti Amerika, kemudian masuk juga invasi Eropa Barat ke Ukraina,” kata Supian.
Alumnus Pushkin State RL Institute Rusia ini mengatakan, secara budaya, rumpun Slavia Timur sulit berbaur dengan rumpun Indo-Jerman Barat. Ada banyak perbedaan yang tampak dari budaya Slavia dengan budaya negara-negara Barat. Hal ini kemudian menuai kritik keras dari Rusia.
“Jadi konflik ini murni lebih ke politik. Akar masyarakat Rusia dan Ukraina itu sangat kuat, dan mereka sama-sama menganut Ortodoks,” katanya. Arie Lukihardianti