Laporan: Prancis Aniaya Umat Islam

Islamofobia pemerintah Prancis dikategorikan sebagai penganiayaan umat Islam.

google.com
Muslim Prancis serukan stop Islamofobia
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sebuah laporan dari CAGE, organisasi advokat independen menyebut Islamofobia pemerintah Prancis dikategorikan sebagai penganiayaan umat Islam. 

Baca Juga


Hal tersebut berdasarkan hukum internasional yang berlaku. Laporan tersebut menyoroti tindakan keras yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Muslim di Prancis di bawah kebijakan obstruksi sistematis yang berlaku empat tahun lalu 

Laporan yang ditulis oleh ahli hukum Prancis dan peneliti CAGE Rayan Freschi, yang berjudul 'Kami mulai menyebarkan Teror: Penganiayaan yang disponsori negara terhadap Muslim di Prancis' menguraikan metode penganiayaan Muslim Prancis oleh pemerintah Emmanuel Macron, termasuk sanksi dan paksaan, pembubaran organisasi dengan dekrit, serta pemolisian berat dan kriminalisasi Islam di bidang sosial, agama dan politik.

“Kami mendokumentasikan bagaimana negara Prancis dengan cepat membubarkan komunitas Muslim melalui penganiayaan, menyebarkan teror di antara seluruh komunitas agama,"ujar Freschi dilansir di trtworld.com.

Di bawah kepresidenan Macron, negara Prancis telah meluncurkan serangan terhadap masyarakat sipil muslim atas nama memerangi "separatisme Islam" dan melestarikan laicite Prancis (sekularisme).

Laporan tersebut merinci kekuatan eksekutif yang melakukan penganiayaan, kebijakan pemolisian, institusi Muslim dipantau, diawasi, diselidiki, dan diberi sanksi untuk pelanggaran kecil. Ratusan perusahaan, termasuk masjid dan sekolah Muslim telah ditutup dan jutaan Euro telah disita.

 

 

Menurut statistik terbaru yang dirilis oleh pemerintah Prancis pada Januari 2022, ada 24.887 investigasi yang dilakukan, 718 organisasi Muslim telah ditutup atau dibubarkan; dan dana 50 juta dolar AS telah disita.

Rata-rata mereka melakukan 24 investigasi sehari, 15 penutupan tiap bulan, dan 10 juta dolar AS disita setiap tahun.

Laporan ini menilai Prancis telah melecehkan dan mempermalukan Muslim, yang mengakibatkan perampasan yang disengaja terhadap kebebasan beragama minoritas, berpendapat, berserikat dan hak atas properti.  

Kebijakan obstruksi sistematis telah meluas setelah  pembunuhan guru sekolah Samuel Paty pada Oktober 2020, dan arahan baru-baru ini seperti Undang-Undang Anti-Separatisme 2021 semakin mengakar dalam arsitektur kebijakan. 

"Serangan terhadap kebebasan berdasarkan berkeyakinan dan berserikat ini telah diidentifikasi dengan tepat oleh kelompok hak asasi manusia, badan kesetaraan dan lembaga Eropa, tetapi pemerintah tidak peduli,” kata Marwan Muhammad, mantan direktur LSM Prancis CCIF, yang ditutup sebagai akibat dari kebijakan Obstruksi Sistematis.

Mereka adalah bagian dari skema besar Macron untuk mengendalikan Muslim di semua tingkatan, sehingga mengamankan suara sayap kanan dan neo-republik.

'Pertanyaan tentang Muslim' telah menjadi salah satu masalah yang menentukan menjelang kampanye Presiden Prancis 2022, dengan masing-masing pesaing. Saat ini tujuan dia adalah untuk mengalahkan pesaing dan membuktikan ketidaksukaannya terhadap Muslim Prancis.

 

 

Farid Hafez, seorang peneliti akademis ahli kebijakan kontra-terorisme Eropa, percaya bahwa tujuan dari kebijakan kejam tersebut adalah untuk menciptakan Islam Prancis yang "diam terhadap penindasan" dan "tunduk pada kehendak Prancis tentang seperti apa Islam seharusnya".

Di antara rekomendasinya, laporan tersebut menyerukan pencabutan kebijakan anti-Muslim seperti kebijakan Penghalang Sistematik, UU Anti-Separatisme, Piagam Imam, UU 2004 tentang tanda-tanda keagamaan di sekolah, dan larangan Niqab 2010.

Ini juga menganjurkan pembentukan badan independen untuk menyelidiki tindakan obstruksi sistematis, serta memberikan ganti rugi atas kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaan dan individu karena tindakan tersebut. Ini juga menuntut masing-masing negara anggota UE untuk mengutuk penganiayaan yang disetujui negara terhadap Muslim, sambil menyerukan organisasi masyarakat sipil Eropa untuk memperluas solidaritas kepada individu dan organisasi yang terkena dampak "Islamofobia struktural" di Prancis.

“Jika dibiarkan tidak tertangani, penganiayaan yang dihadapi Muslim di Prancis kemungkinan akan diekspor ke seluruh Eropa,” Freschi memperingatkan.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler