Ditembak Mati Densus, Bagaimana Buktikan Dokter Sunardi adalah Teroris? Ini Kata Pakar
Penting bagi Polri untuk melengkapi para personel Densus 88 dengan kamera tubuh.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menduga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan memanggil Densus 88 Antiteror Polri untuk menguji apakah penembakan terhadap Dr. Sunardi tergolong sebagai lawful killing atau unlawful killing. Jika disimpulkan sebagai unlawful killing, maka boleh jadi akan ada proses hukum seperti pada kasus KM 50.
Menurut Reza, benar atau tidaknya dr Sunardi bagian dari jaringan terorisme, tidak ada mekanisme untuk mengujinya. Sebab yang bersangkutan sudah tewas ditembak Tim Densus 88 Antireror Polri dengan alasan dokter Sunardi memberikan perlawanan pada saat hendak ditangkap. Namun, kata dia, sebenarnya ada mekanisme untuk mengujinya yaitu melalui posthumous trial.
"Andai kita mengenal posthumous trial, persidangan bagi terdakwa yang sudah meninggal, maka diharapkan akan ada kepastian status para terduga teroris di mata hukum," ungkap Reza.
Reza berpendapat, mungkin posthumous trial perlu diadakan sebagai bentuk penguatan terhadap operasi pemberantasan terorisme. Apalagi ketika operasi Densus 88 menjatuhkan korban jiwa, kerap muncul kontroversi. Maka demikian juga untuk mengatasinya, penting bagi Polri untuk melengkapi para personel Densus 88 dengan body camera.
"Teknologi ini akan bermanfaat untuk kepentingan pemeriksaan jika nantinya muncul tudingan bahwa Densus 88 telah melakukan aksi brutal terhadap terduga teroris," tutur Reza.
Menurut Reza, body camera, dalam berbagai studi, juga ampuh mencegah aparat menggunakan kekerasan secara berlebihan. Tapi masalah ini tidak hanya sebatas menyangkut hidup matinya Dr. Sunardi dan benar tidaknya statusnya sebagai anggota jaringan terorisme.
Jadi akan sangat konstruktif jika Polri berperan aktif ikut memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak para terduga teroris tersebut. "Hal ini merupakan kewajiban sekaligus tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya (termasuk Polri) yang diatur dalam UU 35/2014," jelas Reza.
Selanjutnya, kata Reza, kategori yang relevan bagi anak-anak tersebut adalah, pertama, mereka sebagai anak-anak korban terorisme. Kedua, anak-anak korban stigmatisasi akibat kondisi orang tua mereka. Dengan perlindungan khusus tersebut, tidak ada anak-anak terduga teroris yang dikucilkan, bahkan diusir dari rumah mereka.
"Juga, perlindungan khusus diharapkan bisa mencegah terjadinya regenerasi teror. Kita mendukung negara bekerja sekomprehensif dan setuntas mungkin menanggulangi masalah terorisme di Tanah Air," tutup Reza.