Disparitas Harga Jadi Akar Masalah Langkanya Minyak Goreng

Ada dugaan spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga minyak goreng.

ANTARA/M Risyal Hidayat
Seorang pegawai melintas di antara rak penyimpanan kardus yang berisikan minyak goreng merk Bimoli yang akan didistribusikan dari gudang PT Salim Ivomas Pratama di Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/3/2022). Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM) DKI Jakarta bersama Polda Metro Jaya melakukan inspeksi mendadak (sidak) di gudang tersebut untuk memastikan kewajiban memproduksi sebanyak 350 ribu liter minyak goreng per bulan yang akan didistribusikan kepada masyarakat.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebutkan akar masalah dari kelangkaan minyak goreng di pasaran saat ini. Yaitu karena adanya disparitas harga antara kebijakan domestic price obligation (DPO) yang ditetapkan oleh pemerintah, harga eceran tertinggi, dan harga pasar.

Yeka mengemukakan bahwa harga DPO sebesar Rp 9.300 untuk CPO di dalam negeri dan HET minyak goreng curah Rp 14 ribu per liter. Sedang harga di pasar tradisional yang masih tinggi sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per liter menimbulkan kelangkaan.

Kelangkaan tersebut, kata Yeka, diduga akibat dari spekulan yang bermain baik berupa penyelundupan ataupun penimbunan minyak goreng. "Ombudsman melihat bahwa akar permasalahan kelangkaan minyak goreng ini adalah karena tingginya disparitas antara harga DPO, HET, dan harga pasar. Disparitas harga itu berkisar antara Rp 8.000 sampai Rp 9.000, jadi bisa dibayangkan disparitas ini memunculkan hal-hal yang jadi penyebab yang disampaikan sebelumnya," kata Yeka, Selasa (16/3/2022).

Berdasarkan pemantauan Ombudsman di 274 pasar seluruh Indonesia, kata Yeka, harga minyak goreng yang sesuai dengan HET yaitu maksimal Rp 14 ribu per liter untuk kemasan premium bisa ditemui di pasar atau ritel modern, namun dengan jumlah yang terbatas atau bahkan langka. Sementara harga minyak goreng curah, kemasan modern, dan kemasan premium bisa ditemui di pasar tradisional namun dengan harga yang jauh di atas HET pemerintah.

"Ada dugaan terhadap spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara HET dengan harga pasar tradisional yang sulit diintervensi. Jadi seperti diketahui kalau pasar modern ini bisa diintervensi, kalau pasar tradisional tidak bisa diintervensi karena pelakunya sangat banyak, dan aktivitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng," kata Yeka.

Menurut Kementerian Perdagangan, para pelaku usaha eksportir CPO di Indonesia telah mematuhi kebijakan Domestic Mandatory Obligation (DMO) untuk mengalokasikan 20 persen CPO total ekspor, yang kini diubah menjadi 30 persen, untuk kebutuhan dalam negeri yaitu produksi minyak goreng. Namun faktanya di lapangan masih terdapat kelangkaan di masyarakat dan menyebabkan harganya tetap tinggi di beberapa pasar tradisional.

Baca Juga


sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler