Komite I DPD Tolak Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Usulan penundaan Pilpres dan Pemilu dengan dasar ketiadaan anggaran kurang relevan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan Pemilu 2024 dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi negara Indonesia. Sebagai bangsa, Indonesia sudah memilih demokrasi sebagai sistem politik yang diamanatkan oleh konstitusi untuk dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara tetap dan periodik. Hal ini disampaikan Ketua Komite I Fachrul Razi dalam Rapat Dengat Pendapat Umum dengan para pakar di ruang Rapat Sriwijaya, Gedung DPD RI, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (21/3/2022).
“Usulan penundaan Pilpres dan Pemilu 2024 dengan dasar ketiadaan anggaran kurang relevan mengingat di saat bersamaan program pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) tetap dilaksanakan begitu juga Pilkada Serentak tahun 2020 yang lalu tetap dapat dilaksanakan di tengah Pandemi Covid-19 yang sedang tinggi dan sangat berisiko bagi kesehatan masyarakat, penyelenggara, dan kontestan Pilkada,” jelasnya.
Anggota DPD RI dari Kalteng Teras Narang menyatakan proses demokrasi merupakan proses berbangsa dan bernegara, maka DPD RI tetap dengan sikapnya menolak penundaan Pemilu. Untuk itu diharapkan Komite I dapat menyatakan sikap secara tegas terhadap segala usulan penundaaan tersebut.
Konsultan Hukum Integrity Denny Indrayana menyatakan pembatalan Pemilu 2024 serta perpanjangan jabatan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang menabrak UUD 1945. “Indonesia sebagai negara hukum tapi dengan menghilangkan pemilu menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat) dan jauh menyimpang dari negara berdasarkan hukum (rechtstaat),” ujarnya.
Lebih lanjut Denny menyayangkan sikap Presiden yang tidak tegas melarang dan menghentikan rencana pembatalan Pemilu 2024 yang akan datang. “Dalam pasal 169 huruf d UU Pemilu, menyatakan jika Presiden baik secara langsung maupun tidak langsung membatalkan pemilu merupakan pengkhianatan terhadap negara dan hal tersebut berpotensi Presiden dapat digulingkan,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama pakar hukum tata negara Susi Dwi Harijanti berpendapat penundaaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan dapat menjadi penyebab runtuhnya fondasi kenegaraan. “Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden merupakan tindakan yang dapat meruntuhkan fondasi bangsa karena tidak ada dasar hukumnya,” jelasnya.
Menurutnya, upaya memaksakan kehendak dengan cara mengubah UUD menunjukkan keinginan memperpanjang masa jabatan dan menunda pemilu bertentangan dengan negara hukum baik secara procedural maupun due process of law.
Zainal Arifin Mochtar ahli hukum tata negara Indonesia juga ikut memberikan pandangannya terhadap penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden ini. Zainal berbicara terkait beberapa skenario penundaan pemilu dan apa yang dapat dilakukan.
“Penundaan pemilu yang belakangan ini banyak dibicarakan dengan alasan kondisi ekonomi, biaya pemilu yang besar, kesinambungan kerja maka seharusnya jika dengan alasan-alasan tersebut maka semua pembiayaan yang besar juga sebaiknya ditunda termasuk pembangunan IKN. Namun jika alasannya karena ingin melakukan perubahan dengan melakukan agenda ketatanegaraaan dengan Amandemen hal ini dapat mengubah proses pemilihan presiden kembali ke MPR RI,” jelasnya.