Maaf Konsep Sharing The Pain Jokowi tak Berlaku di Minyak Goreng

Subsidi penyediaan minyak goreng dengan harga terjangkau batal diterapkan.

Antara/Jojon
Foto udara antrean warga hingga di badan jalan untuk mendapatkan minyak goreng murah dalam kemasan di pasar murah di Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (17/3/2022). Untuk mendapatkan minyak goreng murah dalam kemasan warga rela antre sejak pukul 03.00 dini hari dengan syarat membawa foto copy kartu keluarga.
Red: Joko Sadewo

Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Dampaknya terhadap sektor perekonomian pun masih terasa.


Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terjadi hingga hari ini. Sejumlah perusahaan pun masih menerapkan kebijakan pemotongan gaji karyawan demi menghindari PHK dan tetap bisa bertahan di masa sulit ini.

Konflik antara Rusia dan Ukraina yang ikut menyeret Uni Eropa, Amerika Serikat (AS) dan para negara sekutunya makin memberi tekanan pada sektor perekonomian global. Dampak dari konflik ini membuat harga komoditas energi dan pangan melambung, termasuk di Indonesia. 

Salah satu komoditas yang terdampak adalah minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Kenaikan harga CPO sudah terjadi sejak pertengahan tahun 2021. Harganya makin melambung setelah Rusia melakukan invasi militer ke Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu.

Kenaikan harga CPO ini menjadi berkah bagi kas negara. Indonesia merupakan produsen sekaligus eksportir CPO terbesar dunia. Namun bagi konsumen di dalam negeri, kenaikan harga CPO ini berarti kenaikan harga komoditas berbahan baku CPO.

Meski kebutuhan CPO industri nasional sepenuhnya dipasok dari perkebunan sawit di dalam negeri, harga yang berlaku di pasar domestik adalah patokan harga ekspor. Dampaknya, harga minyak goreng yang menggunakan bahan baku utama CPO ikut terkerek naik.

Kenaikan harga minyak goreng sebagai imbas dari kenaikan harga CPO tak hanya kali ini terjadi. Di masa pemerintahan sebelumnya kondisi ini pernah terjadi. Saat itu pemerintah meminta pengusaha sawit mau berbagi beban kenaikan harga minyak goreng dengan menerapkan kebijakan kewajiban memasok ke pasar dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) CPO dengan harga khusus.   

Konsep berbagi beban (sharing the pain) ini pernah disuarakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada masa awal pandemi Covid-19, tepatnya pada 3 Juni 2020 silam. Konsep sharing the pain ini disampaikan Jokowi kepada seluruh pemangku kepentingan dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Pesan tersebut ditujukan Jokowi kepada pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, sampai dengan pelaku usaha agar bergotong royong menghadapi pandemi. Saat itu Jokowi menegaskan kerja sama antarpemangku kepentingan diperlukan agar roda perekonomian tetap berjalan optimal.

Sayangnya, konsep sharing the pain yang pernah disampaikan Presiden Jokowi tidak berlaku di saat harga CPO melonjak. Belum genap enam bulan sejak pertama kali pemerintah mengatakan akan menggelontorkan dana untuk subsidi dalam rangka penyediaan minyak goreng dengan harga terjangkau, kebijakan tersebut batal diterapkan untuk minyak goreng yang dijual dalam kemasan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada awal Januari lalu mengatakan bahwa pemerintah akan menyiapkan dana sebesar Rp 3,6 triliun untuk subsidi dalam rangka penyediaan 1,2 miliar liter minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000 per liter.

Dengan dicabutnya kebijakan HET untuk minyak goreng kemasan, maka harga jualnya akan mengikuti mengacu kepada naik turunnya harga CPO.

Keputusan pemerintah untuk mencabut HET minyak goreng kemasan ini diikuti dengan kebijakan penghapusan DMO CPO. Penghapusan kebijakan DMO CPO ini tidak akan berdampak pada minyak goreng kemasan.

Bagaimana dengan minyak goreng curah yang harga jualnya mengikuti HET dan tidak mengikuti harga pasar? Di saat harga CPO masih bertahan tinggi seperti saat ini tentunya lebih menguntungkan bagi pengusaha untuk menjual CPO ke pasar luar negeri.

Untuk membatasi penjualan CPO ke luar Indonesia, pemerintah sudah menyiapkan jurus jitu yakni menaikkan besaran pungutan ekspor dan bea keluar CPO. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76 Tahun 2021, pungutan ekspor sawit diatur sebesar 55 dolar AS per ton jika harga CPO 750 dolar AS per ton. Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar 50 dolar AS per ton, maka tarif pungutan ekspor naik 20 dolar AS per ton.

Aturan tersebut berlaku kelipatan hingga menyentuh batas atas harga CPO 1.000 dolar AS per ton. Dengan kata lain, maksimal tarif pungutan ekspor saat ini sebesar 175 dolar AS per ton.

Selain pungutan ekspor, pemerintah juga mengenakan bea keluar CPO sebesar 200 dolar AS per ton sehingga total pungutan dan bea keluar mencapai 375 dolar AS per ton bila harga CPO sudah atau lebih dari 1.000 dolar AS per ton.

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan batas atas harga CPO menjadi 1.500 dolar AS ton sehingga tarif pungutan ekspor dan bea keluar yang diperoleh bisa lebih besar. Dari maksimal 375 dolar AS per ton, menjadi 675 dolar AS per ton.

Apakah jurus menaikkan bea keluar CPO ini efektif meredam ekspor? Para eksportir CPO yang merupakan pengusaha kakap ini tentunya punya jurus jitu juga. Mereka bisa membebankan sebagian kenaikan bea keluar ini kepada para pembeli CPO di luar negeri. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler