Hadir di Purwokerto Sejak 1980, Toko Buku Bekas ANS Masih Eksis

Saat ini, hanya ada dua toko buku bekas yang ada di wilayah Purwokerto.

Idealisa Masyrafina
Pengelola Toko Buku ANS Purwokerto sedang melayani pembeli.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Muhammad Fakhruddin

REPUBLIKA.CO.ID,PURWOKERTO -- Buku dan majalah bekas ternyata masih menjadi buruan di era digital seperti saat ini. Cetakan lama yang sudah tidak diproduksi lagi memiliki nilai tinggi di mata pencarinya.

Baca Juga


Begitu juga buku-buku populer di jamannya kerap dicari untuk bernostalgia dan dikoleksi. Kendati begitu, tidak seperti di Jakarta, Bandung ataupun Yogyakarta, sulit untuk menemukan toko buku bekas di Purwokerto.

Saat ini, hanya ada dua toko buku bekas yang ada di wilayah Purwokerto, dan keduanya dikelola oleh keluarga yang sama. Toko buku ANS di Jalan A. Yani, Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, merupakan satu dari dua toko buku bekas yang bertahan di Purwokerto.

Menurut pengelola toko buku tersebut, Edi (35 tahun), ia meneruskan usaha ayahnya, Anshori, yang merintis usaha toko buku bekas ini sejak tahun 1980an.

"Ini usaha turun temurun dari orangtua. Sekarang toko buku bekas di Purwokerto cuma ada dua, yang disini sama yang di dekat Toko Laris (Jl. Jend. Sudirman). Di sana ibu yang kelola," ujar Edi kepada Republika.

Ia menuturkan, toko buku yang saat ini terletak di Simpang Geriatri ini merupakan toko kedua yang dibuka ayahnya. Dulu, ayahnya membuka toko buku bekas di pasar kuliner, yang kemudian digusur.

Meneruskan usaha buku bekas memang tidak mudah di era digitalisasi seperti saat ini. Akan tetapi, masih banyak pemburu buku-buku bekas untuk dikoleksi. Misalnya, komik-komik lama seperti Wiro Sableng atau Tintin.

"Yang Tintin itu saya rugi, saya gak tahu kalau sudah mulai langka jadi saya jualnya murah. Padahal di online ada yang jual sampai ratusan ribu," tutur Edi.

Untuk komik lama, biasanya Edi menjual Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu. Harganya bisa lebih mahal jika langka. Majalah dijual berkisar Rp 5 ribu hingga Rp 25 ribu. Majalah National Geographic biasanya dijual dengan harga paling mahal. Biasanya majalah-majalah lama digunakan oleh anak-anak sekolah sebagai bahan untuk tugas kliping.

Untuk buku-buku pelajaran dan kuliah, ia menjualnya berkisar dari Rp 20 ribu hingga Rp 60 ribu. Buku-buku pelajaran lama umumnya diminati oleh para guru les. Menurut Edi, hal itu karena buku-buku kurikulum lama menjelaskan materi dengan lebih komprehensif, sehingga digunakan para guru les sebagai bahan mengajar.

"Karena buku-buku pelajaran kan udah regenerasi, sekarang sering ganti kurikulum, jadi nggak ada lagi anak-anak sekolah yang cari buku bekas. Seringnya malah guru les," jelas Edi.

Pembeli buku di tokonya biasanya membeli buku sejumlah satuan. Tapi banyak juga yang memborong buku bekas untuk disumbangkan. Biasanya Edi akan memberi harga diskon untuk yang membeli borongan.

Selama berjualan buku bekas, Edi juga berhasil menjual buku langka hingga jutaan rupiah. Salah satu buku termahal yang ia jual yaitu buku bekas tentang Soekarno berjudul 'Di Bawah Bendera Revolusi' yang terjual sebesar Rp 1 juta. Buku cetakan 1963 itu bisa terjual mahal karena sangat langka. Kertas bukunya masih buram dan tebal dan menggunakan ejaan lama.

Stok buku-buku bekas didapatkannya dari Yogyakarta, Jakarta ataupun kota-kota besar lainnya. Akan tetapi sama seperti halnya usaha lainnya, selama pandemi, pembeli buku bekasnya menurun drastis. Apalagi dengan para pelajar yang lebih banyak sekolah daring. Mahasiswa yang mencari buku untuk tugas skripsi yang masih sering mampir ke toko buku bekasnya.

"Sekarang mahasiswa mulai kuliah, anak-anak masuk sekolah, harapannya banyak yang beli lagi," kata Edi.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler