Kemenkeu Masih Kaji Tambahan Anggaran Subsidi Pertalite dan Solar
Pada Februari 2022, realisasi subsidi energi sebesar Rp 21,7 triliun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih mengkaji tambahan anggaran subsidi energi pada tahun ini. Hal ini mengingat penyaluran bahan bakar minyak (BBM) Solar dan Pertalite akan melebihi kuota pada tahun ini.
Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan pihaknya masih menunggu arahan dari dirjen anggaran Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF)."Belum (ada anggaran) masih menunggu DJA dan BKF," ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (30/3/2022).
Kementerian Keuangan mencatat belanja non kementerian/lembaga meningkat dipengaruhi oleh penyaluran subsidi BBM, gas LPG, dan listrik. Pada Februari 2022, realisasi subsidi energi sebesar Rp 21,7 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan belanja sosial pemerintah tahun ini tidak lagi ditujukan subsidi berupa perlindungan sosial masyarakat akibat pandemi Covid-19. Adapun dana bantuan sosial akan diarahkan subsidi BBM, LPG dan listrik.
"Bantuan sosial dalam bentuk non targeted ini subsidi BBM, LPG dan listrik sudah disalurkan Rp 21,7 triliun," ujarnya saat konferensi pers APBN KiTA secara virtual, Senin (28/3/2022).
Menurutnya langkah ini diambil pemerintah karena tahun ini terjadi lonjakan harga komoditas. Akibatnya beban anggaran pemerintah untuk membayar subsidi membengkak. Maka, untuk mengurangi beban tersebut, bantuan sosial diarahkan untuk membantu subsidi energi.
"Penyaluran pada 2020 dan 2021 didominasi targeted bansos, penyaluran by name by address dan UMKM. Sekarang karena lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, maka bansosnya menjadi bentuk subsidi," ucapnya.
Sri Mulyani mengungkapkan pada tahun ini harga energi dan sejumlah komoditas, seperti batu bara, mengalami kenaikan signifikan yang salah satunya karena konflik Rusia Ukraina. Hal tersebut membuat biaya produksi BBM dan listrik menjadi meningkat, sedangkan harga jual kepada masyarakat tidak berubah.
“Apabila harga BBM dan listrik naik karena peningkatan harga komoditas berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. Nanti konsekuensinya kepada subsidi apabila tidak mengubah harga BBM dan listrik, ini akan memberikan beban kepada APBN. APBN menjadi shock absorber," ucapnya.
Harga minyak dunia yang melonjak drastis hingga di atas 100 per barel dolar AS menjadi tantangan berat pada awal 2022 ini. Adapun kondisi diperparah karena pemerintah dan PT Pertamina masih menahan harga BBM subsidi dan nonsubsidi seperti Pertamax dan berbagai macam pertimbangan pemerintah, seperti perekonomian masyarakat yang belum begitu pulih akibat pandemi Covid-19.
Baca juga : Ketua DPR Minta Pemerintah Awasi Pasokan Biosolar Saat Ramadhan
Sri Mulyani menyebut realisasi subsidi BBM, LPG dan listrik tahun ini akan lebih besar dibandingkan 2021. Tak hanya karena energi mahal, tapi juga karena adanya peningkatan volume BBM dan LPG seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat.
Pada Februari 2022 penggunaan BBM mengalami peningkatan menjadi 1,39 juta kiloliter dari sebelumya hanya 1,18 juta kiloliter. Volume gas LPG juga mengalami kenaikan menjadi 632,7 juta kilogram dari sebelumnya, 603,2 juta kilogram, sedangkan jumlah pelanggan listrik bersubsidi ikut naik dari 37,2 juta menjadi 38,2 juta.
Akibatnya, pada periode tersebut terdapat lonjakan pembayaran subsidi sebesar Rp 11,48 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama hanya Rp 10,08 triliun.
"Tahun ini ada lonjakan Rp 11,48 triliun, ini subsidi reguler kita, tapi masih ada sisa pembayaran subsidi 2021 sebesar Rp 10,17 triliun," ucapnya.
Baca juga : Wapres: Presiden Instruksikan Segera Antisipasi Kelangkaan Solar Subsidi
Sri Mulyani mengakui sudah ada kenaikan harga komoditas dari tahun lalu. Namun, belum ada perubahan tarif pada pada BBM, LPG dan listrik. Artinya, beban pemerintah membayar subsidi energi ini semakin besar. Akibatnya, tahun lalu terjadi kenaikan signifikan pada subsidi kurang bayar 2021 sebesar Rp 10,17 triliun.
Dia memperkirakan subsidi yang dibayarkan pemerintah akan semakin besar karena harga komoditas dunia terus merangkak naik. Sementara pemerintah belum melakukan penyesuaian harga tingkat masyarakat.
"Sampai saat ini harga energi belum ada perubahan, dampaknya subsidi akan lebih besar," ucapnya.