Imam Nawawi dan Kitab Tafsir yang Melegenda
Imam Nawawi menggali makna tersembunyi di balik teks tanpa menabrak sakralitas teks.
Oleh : Nashih Mastullah, Jurnalis Repblika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Beruntung, tradisi tulis-menulis di kalangan para ulama terdahulu cukup kuat. Karya-karya mereka menjadi warisan yang sangat berharga dalam eksplorasi khazanah intelektual umat Islam. Meski ada beberapa karya yang tidak bertahan sampai sekarang, referensi-referensi yang ada saat ini berkontribusi besar dalam merekontruksi pemikiran keagamaan Islam masa klasik.
Tak terkecuali karya-karya yang berbicara perihal biografi, misalnya. Kategori referensi ini memberikan informasi berarti tentang riwayat hidup ulama meski terkadang ulasannya tak selalu sempurna seperti yang kita bayangkan, bahkan sangat minimalis.
Lewat referensi jenis inilah, kita mengetahui bahwa eksistensi Imam Nawawi al-Jawi mendapat pengakuan hingga mancanegara. Setidaknya ada tiga rujukan buku biografi besutan cendekiawan Timur Tengah yang mengulas secara singkat biografi tokoh asli Banten tersebut.
Yang pertama, karya Ismail Pasha al-Baghdadi. Sastrawan kelahiran Bagdhad itu menulis sekelumit tentang riwayat Imam Nawawi. Melalui karyanya yang tersohor, Hadiyat al-Arifin fi Asma' al-Muallifin wa atsar al-Mushanifin, Ismail yang dikenal juga sebagai sejarawan pada akhir-akhir masa runtuhnya pemerintahan Dinasti Ottoman tersebut, mengulas sedikit biografi Nawawi.
Ismail yang wafat pada 1920 M itu menulis bahwa pemilik nama lengkap Muhammad Nuri bin Umar bin Arabi bin Ali an-Nawawi Abu Abd al-Mu'thi al-Jawi adalah seorang yang terkenal kepakarannya di bidang fikih. Ia pernah singgah dan belajar di Mesir, lalu pindah ke Makkah dan meninggal di sana pada 1315. Jumlah karya yang berhasil dikarang oleh Imam Nawawi sebanyak 315 kitab. Dalam kitab Hadiyaat al-Arifin ini, Nawawi masuk dengan kata entri awal al-Jawi.
Yang kedua adalah karya sastrawan dan penulis asal Damaskus, Yusuf Ilyan Sarkis, menulis dalam kitabnya yang bertajuk Mu'jam al-Mathbu'at al-Arabiyyah wa al-Mu'rabah, sekelumit tentang Nawawi yang ditulis demikian bahwa Imam Nawawi merupakan salah satu ulama yang berpengaruh pada abad ke-14. Karya tulis yang dihasilkan cukup banyak. Lagi-lagi, Yusuf yang wafat pada 1932 M itu hanya menaruhkan kata “al-jawi” sebagai identitas akhir.
Sementara itu, rujukan yang ketiga karangan Khair ad-Din az-Zirikli. Dalam kitab ensiklopedi tokoh yang ia tulis dengan judul al-A'lam, nama Imam Nawawi kembali disebut dengan entri nawawi al-jawi sesuai sistematika penyusunan alfabetik yang khas pada kitab al-A'lam.
Az-Zirikli menulis demikian, al-bantani iqlimiyyan, at-tanari baladan. Nawawi berasal dari wilayah Banten, tepatnya Desa Tanara, seorang ahli tafsir, sufi, dan bermazhab Syafi'i. Ia terkenal di kawasan Hijaz dan sekitarnya. Kitab al-'Alam merupakan karya az-Zirikli yang paling fenomenal.
Tokoh kelahiran Beirut, Lebanon, 1893 M itu memasukkan entri nama-nama baru. Kriterianya harus sosok terkenal lewat karya tulisnya atau tokoh berpengaruh pada masanya, seperti raja atau khalifah. Dari ketiga referensi itu, ada setidaknya tiga informasi pokok perihal Imam Nawawi, yakni asal usul kelahiran, karakter dan corak pemikiran, serta dokumentasi atas deretan karyanya.
Di samping itu, informasi ihwal kepribadian sosok yang oleh Snouck Hurgronje dijuluki dengan “doktor ketuhanan” tersebut secara tersurat bisa ditelusuri dari kitab-kitab karangan autentiknya. Salah satunya melalui pernyataan Nawawi dalam mukadimah kitab tafsirnya yang monumental, yaitu Marah Labid Li Kasyf Ma'na Alquran al-Majid.
Kitab ini meski sederhana terdiri atas dua jilid, sebagian kalangan menilai tak kalah dengan karya ulama Timur Tengah, bahkan disebut-sebut lebih berkualitas ketimbang Tafsir al-Jalalain hasil kolaborasi dua pakar tafsir ternama, yakni Imam Jalaluddin al-Muhilli dan Jaluddin as-Suyuthi.
“Marah Labid” unggul dengan sejumlah keistimewaan dan yang paling mencolok adalah dimensi sufistik dan spiritual (isyari) dalam corak penafsirannya. Ini tak terlepas dari keaktifannya dalam Tarekat Qadiriyah. Nawawi tak berhenti pada permukaan teks semata, tetapi ia mencoba menggali 'makna tersembunyi' di balik teks tanpa menabrak sakralitas teks itu sendiri.
Hal itu terbukti dari konsistensi Nawawi menggunakan kaidah tafsir yang lazim digunaan oleh para pakar tafsir, seperti penafsiran makna secara etimologi, merujuk pada kronologi turunnya ayat (asbab an-nuzul), dan tata bahasa.
Guna memperkuat penjelasan mengenai ayat-ayat hukum, Nawawi yang juga dikenal sebagai pakar fikih Mazhab Syafi'i, membeberkan rententan pendapat para ulama. Ia tidak berangkat dari penafsiran subjektif, tetapi ia tetap merujuk kitab tafsir para pendahulunya.
Ada beberapa kitab utama yang ia jadikan rujukan, yaitu Mafatih al-Ghaib karangan ar-Razi dan Tanwir al-Miqbas, as-Siraj al-Munir, dan al-Futuhat al-Ilahiyah, serta tafsir karangan Abu as-Su'ud. Fakta ini selain menegaskan tentang corak pemikirannya di bidang tafsir, sekaligus menunjukkan sikap rendah hati sosok yang bergelar Sayyid al-Ulama al-Hijaz tersebut.
Kerendahhatian ini pula yang terungkap dari mukadimah kitabnya tersebut ketika ia menegaskan bahwa penulisan tafsir ini atas dorongan para sahabatnya dan urung terlaksana karena takut masuk dalam kategori mereka yang menafsirkan Alquran dengan pendapat subjektifnya dengan ancaman masuk neraka.
Ia pun lantas merealisasikan permintaan tersebut agar estafet keilmuan tetap terjaga dan ia yakin karyanya tidaklah sempurna. Akan datang masa kala generasi berikut datang menyempurnakannya.
Tradisi keilmuan generasi salaf yang melekat di sosok Nawawi patut menjadi teladan bagi kita semua akan pentingnya menegaskan nilai-nilai luhur Islam, tentang kesederhanaan, kerendahatian, keikhlasan, toleransi, moderasi, dan tidak saling menyalahkan sesama Muslim.