Presiden Sri Lanka tak akan Mundur Meskipun Protes Meningkat
Presiden Rajapaksa akan menghadapi krisis politik dan ekonomi Sri Lanka.
REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa tidak akan mengundurkan diri meski protes akibat krisis ekonomi meluas di seluruh negeri. Seorang menteri pemerintah mengatakan, Rajapaksa akan menghadapi krisis politik dan ekonomi Sri Lanka.
Sri Lanka telah mengalami kekurangan bahan bakar dan kebutuhan pokok lainnya selama berbulan-bulan. Aksi protes atas masalah ekonomi telah menyebar ke seluruh negeri, dan menjalar ke kritik terhadap Presiden Rajapaksa serta keluarganya yang memiliki kekuatan politik.
Rajapaksa telah menolak seruan agar dia mengundurkan diri, bahkan setelah anggota koalisinya juga mendesak hak serupa. Anggota parlemen partai berkuasa mengatakan, pemerintah sementara harus menggantikan Rajapaksa. Jika dia tidak mundur, maka dia harus bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi dalam aksi protes.
"Rajapaksa tidak akan mengundurkan diri. Kami akan menghadapi ini. Kami memiliki kekuatan untuk menghadapi ini. Kami tidak takut,” kata Menteri Jalan Raya, Johnston Fernando kepada parlemen, Rabu (6/4/2022).
Beberapa jam sebelumnya, Rajapaksa mencabut status darurat yang diberlakukan pekan lalu, setelah kerumunan pengunjuk rasa berdemonstrasi di dekat rumahnya di Ibu Kota Kolombo. Deklarasi status darurat dikritik secara luas telah memberikam wewenang besar kepada Rajapaksa untuk bertindak demi kepentingan keamanan publik, termasuk menangguhkan undang-undang apa pun, mengizinkan penahanan, dan menyita properti.
“Kami siap menghadapi jika ada yang datang menyerang kami. Kami tidak takut. Kami memiliki kekuatan untuk menghadapi ini,” kata Fernando di parlemen.
Rajapaksa sebelumnya mengusulkan pembentukan pemerintah persatuan untuk menangani krisis, tetapi partai oposisi utama menolaknya. Kabinetnya mengundurkan diri pada Ahad (3/4/2022) malam, dan pada Selasa (5/4/2022). Hampir 40 anggota parlemen koalisi yang memerintah mengatakan, mereka tidak akan lagi memilih sesuai dengan instruksi koalisi, yang secara signifikan melemahkan pemerintah.
Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, yang merupakan kakak laki-laki Presiden Rajapaksa, terus memegang kekuasaan di Sri Lanka, meskipun keluarga mereka yang kuat secara politik menjadi fokus kemarahan publik. Lima anggota keluarga lainnya adalah anggota parlemen, termasuk Menteri Keuangan Basil Rajapaksa, Menteri Irigasi Chamal Rajapaksa, dan Menteri Olahraga Namal Rajapaksa, yang merupakan keponakan presiden.
Pengaruh politik keluarga yang besar tumbuh ketika Mahinda Rajapaksa menjabat sebagai presiden. Mahinda Rajapaksa mendapatkan pujian karena berhasil mengakhiri perang saudara di Sri Lanka, dengan kekalahan pemberontak Macan Tamil pada 2009.
Sekarang ada kekhawatiran kontrol keluarga atas fungsi-fungsi utama negara telah melemahkan lembaga independen, dan membuat pemerintah tidak dapat mengatasi krisis. Pemerintah memperkirakan, pandemi Covid-19 merugikan ekonomi Sri Lanka sebesar 14 miliar dolar AS dalam dua tahun terakhir.
Para pengunjuk rasa juga menuduh pemerintah telah salah urus keuangan negara. Sri Lanka memiliki utang luar negeri yang sangat besar, setelah banyak melakukan pinjaman untuk membangun infrastruktur dan proyek lain yang tidak menghasilkan uang. Kewajiban pembayaran utang luar negerinya sekitar 7 miliar dolar AS untuk tahun ini saja.
Utang dan cadangan devisa yang semakin menipis membuat Sri Lanka tidak mampu membayar barang-barang impor. Selama beberapa bulan, warga Sri Lanka telah mengalami antrean panjang untuk membeli bahan bakar, makanan, dan obat-obatan, yang sebagian besar berasal dari luar negeri dan dibayar dengan mata uang keras.
Kekurangan bahan bakar, bersama dengan kapasitas tenaga air yang lebih rendah dalam cuaca kering, telah menyebabkan pemadaman listrik bergilir yang berlangsung berjam-jam setiap hari. Bulan lalu, Rajapaksa mengatakan, pemerintahnya sedang dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF), dan beralih ke China dan India untuk mendapatkan pinjaman. Di sisi lain, Rajapaksa juga mengimbau masyarakat untuk membatasi penggunaan bahan bakar dan listrik.