Panja Usulkan Penamaan Provinsi di Papua tak Gunakan Wilayah Adat

Panja menegaskan tak ingin permasalahan kesukuan kembali terjadi nantinya.

ANTARA/Gusti Tanati
Seorang mama-mama Papua melintasi ratusan mahasiwa yang mengikuti aksi di Lingkaran Abe, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (1/4/2022). Aksi tersebut untuk menolak pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Provinsi Papua Yan Permenas Mandenas menolak usulan penamaan provinsi atau daerah otonomi baru (DOB) berdasarkan wilayah adat. Pasalnya, hal tersebut justru akan menimbulkan permasalahan terkait adat di pemerintahan daerah.

Identitas suku di Papua, jelas Yan, adalah sesuatu yang sangat dominan di Bumi Cendrawasih. Bahkan ada perumpamaan di sana, bahwa adat sudah ada sebelum agama lahir.

"Jadi kadang-kadang kekentalan adat ini bisa mengesampingkan berbagai macam hal yang bisa kita lakukan dan sampaikan. Sehingga inilah yang harus kita pertimbangkan untuk jangka panjangnya," ujar Yan dalam rapat Panja Baleg RUU Provinsi Papua, Rabu (6/5/2022).

Apalagi, penamaan provinsi berdasarkan wilayah adat akan menimbulkan masalah sosial, karena wilayah tersebut tak hanya didiami satu suku. Ia tak ingin, permasalahan kesukuan ini kembali terjadi ketika provinsi tersebut resmi dibentuk.

"Inilah yang sebenarnya menjadi pertimbangan dan jangan sampai jangka panjangnya dinamika kekentalan suku ini mempengaruhi struktur birokrasi, jabatan, dan hal-hal lain yang teknis di dalam pelayanan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Itu akan menimbulkan konflik baru lagi," ujar Yan.

"Jadi kadang-kadang kekentalan adat ini bisa mengesampingkan berbagai macam hal," sambungnya.

Selain Yan, anggota Panja Komarudin Watubun juga tak sepakat dengan penamaan provinsi baru berdasarkan wilayah adat. Penamaan berdasarkan wilayah adat justru mengesampingkan tujuan Papua adalah satu.

Baca Juga


"Dalam arti bahwa Papua itu sebenarnya satu, mau Papua Barat, mewakili ke timur, timur ke barat sebenarnya tidak boleh ada masalah, itu dimaknai begitu," ujar Komarudin.

Selain itu, penamaan provinsi baru Papua berdasarkan wilayah adat akan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Nomenklatur provinsi baru Papua disebut telah diatur dalam undang-undang tersebut.

"Kita semua dipayungi Undang-Undang Otsus Papua itu nomenklaturnya. Jadi ketika provinsi ini nama lain, dia tidak bisa lagi menggunakan undang-undang ini," ujar Ketua Pansus RUU Otsus Papua itu.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR Syamsurizal mengatakan, pihaknya menyepakati lima nama provinsi baru yang akan diatur dalam rancangan undang-undang tentang Provinsi Papua. Tiga dari lima nama provinsi baru tersebut didasarkan atas pertimbangan wilayah adat.

"Kami dari Komisi II sebagai pihak pengusul dapat menyepakati untuk Provinsi Papua Tengah kita usulkan dengan nama wilayah adatnya, yaitu Provinsi Meepago. Kemudian Provinsi Papua Pegunungan Tengah kita usulkan dan sepakati menjadi Provinsi Lapago," ujar Syamsurizal.

Kemudian, untuk Provinsi Papua Selatan diusulkan dan disepakati Komisi II untuk menjadi Provinsi Anim Ha. Adapun dua nama provinsi baru lainnya tak menggunakan nama wilayah adat, yakni Provinsi Papua Barat Daya dan Provinsi Papua Utara.

Jika lima nama provinsi baru tersebut disahkan lewat lima undang-undang tentang provinsi, nantinya akan ada total tujuh provinsi di Bumi Cendrawasih. "Untuk provinsi induk Papua dan Papua Barat kita biarkan ini sesuai dengan porsi sejarahnya masing-masing," ujar Syamsurizal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler