Belajar dari Krisis di Sri Lanka

Sri Lanka sedang menghadapi krisis keuangan terburuk dalam beberapa dekade.

AP/Eranga Jayawardena
Warga Sri Lanka mengantre untuk membeli minyak tanah di sebuah pompa bahan bakar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 25 Maret 2022.
Rep: Lida Puspaningtyas Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Sri Lanka sedang menghadapi krisis ekonomi terburuk akibat pandemi Covid-19. Kacaunya rantai pasok dan kenaikan harga komoditas membuat sejumlah industri carut marut.

Baca Juga


Ranjith Koralage adalah seorang bos pabrik pakaian Sri Lanka. Ia berjuang setiap hari untuk menemukan cukup solar untuk menjalankan mesin dan rol uap perusahaannya.

Pabrik Kolonna miliknya yang berbasis di provinsi tengah Sri Lanka harus memenuhi kebutuhan pesanan untuk ekspor. Ia berjalan dari stasiun ke stasiun mencari 400 liter bahan bakar untuk generatornya, itu hanya cukup untuk satu hari.

Kekurangan bahan bakar juga membuat pemadaman listrik berulang dalam waktu yang lama. Gangguan tersebut telah menjadi hal biasa di pabrik-pabrik di seluruh Sri Lanka.

Untungnya, generator menghidupkan kembali listrik di beberapa pabrik. Namun perbaikannya bersifat sementara dengan bahan bakar yang terbatas.

"Hari ini kami selamat entah bagaimana, tapi saya tidak tahu tentang besok," katanya dikutip BBC, Kamis (7/4/2022).

Pabrik miliknya harus mengekspor pesanan pakaian rajutan untuk Victoria's Secret, Puma dan Levi's. Kolonna merupakan salah satu dari lusinan pabrik pakaian yang berjuang untuk memenuhi target produksi.

Garmen adalah penghasil devisa terbesar kedua bagi perekonomian Sri Lanka. Sektor ini baru saja pulih dari pandemi, dengan pendapatan ekspor meningkat 22,1 persen menjadi 514 juta dolar AS pada Januari 2022 dibandingkan dengan tahun lalu.

Kuota pesanan Kolonna penuh untuk tiga sampai enam bulan ke depan. Tapi gangguan yang kini terus terjadi menambah kekhawatiran akan kehilangan potensi bisnis dan lari pada pesaing di Indonesia, Bangladesh dan Vietnam.

"Jika (pemerintah) tidak menyediakan bahan bakar, kami harus menghentikan produksi dan akan mempengaruhi pengiriman pelanggan, klien kami sudah bertanya setiap hari apakah kami dapat menyelesaikan pesanan tepat waktu atau tidak," kata Koralage.

Kolonna Manufacturing adalah contoh utama model pembangunan ekonomi yang diinginkan Sri Lanka. Pabrik ini berada di pedalaman negara kepulauan yang menciptakan lapangan kerja lokal.

Kolonna mempekerjakan 800 pekerja yang semuanya berasal dari wilayah tersebut, termasuk kepala eksekutifnya, Koralage. Pabrik ini membuat garmen untuk ekspor dan menghasilkan hampir 140 ribu dolar AS per tahun untuk desa-desa setempat.

Sri Lanka sedang menghadapi krisis keuangan terburuk dalam beberapa dekade. Menurut data bank sentranya pada Kamis, cadangan devisa Sri Lanka menyusut lebih dari 16 persen menjadi 1,93 miliar dolar AS pada bulan Maret.

Kekurangan dolar telah membuat negara itu berjuang untuk membayar impor termasuk makanan, obat-obatan dan bahan bakar. Bahkan pembangkit listrik Sri Lanka sedang berjuang untuk mempertahankan operasionalnya.

Pemadaman listrik yang berkepanjangan dan terus-menerus telah melumpuhkan bisnis. Terutama bisnis yang berorientasi ekspor dan mampu menghasilkan dolar yang sangat dibutuhkan.

Eksportir seperti Kolonna biasanya mematok pesanan dengan harga tetap. Jadi ia memiliki kapasitas terbatas untuk menyerap kenaikan biaya. Meski rupee Sri Lanka yang lebih lemah menguntungkan eksportir, kenaikan biaya tetap menguras semuanya.

Ini sangat mempengaruhi bisnis dan karyawannya. Koralage mengatakan ketika biaya hidup naik, mempertahankan pekerja terampil akan menjadi tantangan lain.

Bukan hanya mesin jahit yang harus terus berjalan. Para pekerja juga harus pergi ke pabrik, sesuatu yang dipersulit dengan hampir 50 persen angkutan umum tidak beroperasi.

Di kota Embilipitiya, sekitar 25 km dari Kolonna Manufacturing, antrean tetap ada meskipun stasiun bus tidak seramai biasanya. Terkadang bus juga berhenti di tengah jalan tanpa bahan bakar.

Pompa bensin kering, bahkan banyak diantaranya menganggur. Sekelompok pengemudi yang menunggu pelanggan berikutnya mengatakan jumlah perjalanan yang mereka lakukan pada rute yang lebih panjang telah turun sepertiga.

Operator telah berhenti menjalankan bus di beberapa rute yang tidak terlalu sibuk untuk menjatah bahan bakar yang tersedia. Layanan transportasi telah benar-benar berhenti minggu lalu ketika pemerintah mengumumkan telah menutup pasokan solar selama dua hari karena masalah pembongkaran di pelabuhan.

 

Industri runtuh selama pandemi

Truk kontainer yang meninggalkan pelabuhan dengan barang-barang penting untuk diangkut ke seluruh negeri juga menunggu dalam antrean sepanjang kilometer selama berhari-hari. Ini jelas memperburuk keadaan.

Sektor pariwisata Sri Lanka yang menjadi penopang utama ekonomi Sri Lanka juga merosot tajam. Sejumlah titik wisata yang dulu ramai dengan turis dari Eropa dan Timur Tengah sekarang sepi.

Seorang pemilik hotel, Nelaka Gunarathne membuka hotelnya yang memiliki 30 kamar untuk tamu akhir tahun lalu setelah absen selama tiga tahun. Setelah enam bulan menjalani bisnis yang bagus, ia kembali dihadapkan pada lobi-lobi yang sunyi dan kamar-kamar kosong.

Pemadaman listrik dan kekurangan kebutuhan pokok telah memukul harapan pemulihan, bahkan untuk sektor pariwisata yang sangat penting bagi perekonomian Sri Lanka. Industri runtuh selama pandemi, yang merupakan alasan utama menipisnya cadangan devisa negara.

Sebagian besar perusahaan menengah dan kecil tidak memiliki generator untuk listrik cadangan. Sri Lanka sebelumnya tidak pernah mengalami pemadaman listrik besar-besaran di masa lalu.

Ketika berusaha untuk menahan mata uang asing di dalam negeri, pemerintah Sri Lanka menerapkan pembatasan impor pada barang-barang tertentu. Hal itu menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga bahan makanan pokok secara tiba-tiba termasuk susu bubuk dan beras.

Inflasi utama telah meningkat menjadi lebih dari 17 persen dalam beberapa minggu terakhir, sementara inflasi makanan di atas 20 persen. Bahkan dengan isi ulang gas memasak yang tidak pasti, restoran tutup dan hotel mengatakan mempertahankan tamu adalah sebuah tantangan.

Gunarathne mengatakan 80 persen dari pemesanannya dibatalkan antara Maret dan April. "Tamu telah menelepon untuk menanyakan apakah jam malam akan berlanjut atau akankah mereka mendapatkan makanan? Kami benar-benar tidak memiliki jawaban untuk apa pun," katanya.

Hotelnya sendiri berjuang untuk membeli kebutuhan dasar sehingga tidak bisa berjanji kepada tamu. Sri Lanka menjadi tujuan wisata populer karena pantainya yang masih asli dan budaya lokalnya yang kaya.

Tapi sekarang, berbagai aksi protes dan demo di jalanan membayangi citranya sebagai tempat yang aman untuk berlibur. Departemen Luar Negeri AS telah meningkatkan tingkat ancamannya dan mengeluarkan peringatan perjalanan tingkat tiga bagi warga negara Amerika untuk tidak melakukan perjalanan ke Sri Lanka.

Maskapai terbesar India Air India telah mengurangi jumlah penerbangan ke Sri Lanka karena permintaan yang lebih rendah. Apa yang dibutuhkan Sri Lanka sekarang adalah stabilitas ekonomi dan politik untuk memungkinkan pabriknya berjalan dengan lancar dan untuk membawa wisatawan kembali ke pantainya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler