Klitih, Kejahatan Jalanan, Mengapa Masih Saja Terjadi di Yogyakarta?
Terakhir, seorang pelajar SMA Muhammadiyah tewas akibat aksi kejahatan jalanan.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Silvy Dian Setiawan
Kejahatan jalanan masih marak terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Terakhir, pelajar yang merupakan siswa di SMA Muhammadiyah 2 Kota Yogyakarta bernama Daffa Adzin Albasith (18) tewas akibat aksi kejahatan jalanan yang terjadi pada Ahad (3/4/2022).
Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi membantah bahwa, tewasnya seorang pelajar bernama Daffa merupakan bentuk dari fenomena klitih. Menurutnya, kejahatan jalanan yang mengakibatkan tewasnya Daffa secara eksplisit mengarah ke tawuran.
"Mohon untuk kasus-kasus kejahatan jalanan yang secara eksplisit kemarin lebih tepatnya tawuran sebenarnya, karena ada proses ejek-ejekan dan proses ketersinggungan dari dua kelompok laki-laki-laki yang sebagian itu orang dewasa dan sebagian anak-anak masih pelajar," kata Ade di Polresta Yogyakarta, Selasa (5/4/2022).
Ia pun meminta agar masyarakat untuk tidak menggunakan kata klitih dari aksi kejahatan jalanan yang terjadi. Sebab, katanya, pengertian klitih dan kejahatan jalanan tersebut berbeda.
"Kata klitih ini mohon tidak kita gunakan lagi, karena ini sudah salah kaprah," ujarnya.
Ade menjelaskan, klitih sendiri diartikan sebagai anak-anak muda yang berkumpul bersama atau jalan-jalan sore dan tidak ada tindak pidana. Sedangkan, kejahatan jalanan masuknya sudah ke ranah tindak pidana.
"Definisi klitih seharusnya kita tahu bahwa menghormati kearifan lokasi disini, sebenarnya artinya jalan-jalan sore, mencari angin, ngobrol-ngobrol dan itu budaya yang baik. Tapi kalau kita gunakan kejahatan jalanan (atau) tawuran ini (sebagai klitih), itu (jadinya) berkonotasi negatif," jelas Ade.
Kadiv Humas Jojca Police Watch (JPW), Baharuddin Kamba, mengingatkan kepada pejabat di kepolisian Polda DIY tidak mendebatkan atau mempersoalkan istilah klitih. JPW mendesak kepada pihak kepolisian untuk fokus menangkap pelaku-pelaku kejahatan jalanan tersebut.
"Jika tidak segera ditangkap, menambah keresahan masyarakat Yogyakarta," kata Baharuddin, Rabu (6/4/2022).
Baharuddin turut menyampaikan dua cita atas meninggalnya seorang remaja berinisial Daffa, akibat kejahatan jalanan atau akrab masyarakat menyebutnya sebagai klitih. Semakin miris karena tewasnya Daffa menambah daftar panjang kasus klitih Yogyakarta yang merupakan Kota Pelajar, Kota Pendidikan.
Sebelumnya, fenomena klitih terjadi pada Desember 2021.Warga Kalurahan Condongcatur, Dhemas Hernando Purnomo (16) dan warga Kalurahan Caturtunggal, Faisal Dwi Saputra (16) menjadi korban aksi klitih yang terjadi pada Senin (27/12/2021) dini hari lalu di Jalan Kaliurang kilometer 9, Kalurahan Sinduharjo, Kapanewon Ngaglik, Sleman.
Korban dikeroyok sekelompok orang dan mengalami luka bacok yang mengakibatkan sejumlah luka beberapa bagian tubuh. Kasus klitih sendiri di Sleman maupun DIY pada umumnya sempat melandai ketika mobilitas warga dibatasi secara ketat. Namun, kasus klitih kembali ramai ketika mobilitas dilonggarkan, dan banyak remaja melakukan kumpul-kumpul malam hari.
Untuk menanggulangi kejahatan jalanan oleh remaja di Sleman, pihak pemkab mengaktifkan patroli Satpol PP dengan Polisi dan instansi-instansi terkait lain. Selain itu, Pemkab Sleman akan memanfaatkan pemantauan lewat CCTV yang tersebar di lebih dari 500 titik lokasi.
Menurut Kepala Badan Intelijen DIY, Brigjen Pol Andry Wibowo, fenomena kejahatan jalanan ini lebih banyak terjadi di perkotaan. Berdasarkan riset yang sudah dilakukan, kata Andry, terjadinya kejahatan jalanan dikarenakan kontrol sosial yang berkurang terhadap kegiatan anak.
"Kontrol sosial dalam anak-anak kita juga sekarang berkurang, mereka dibiarkan jam 09.00 WIB, jam 10.00 WIB (berkeliaran) di luar," kata Andry di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis (7/4/2022).
Menurut Andry, perlu adanya penguatan dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan anak. Baik penguatan struktural atau kepolisian maupun penguatan sosial yakni dari masyarakat itu sendiri, termasuk keluarga.
"Ini harus ditangani melalui struktur sosial, patroli, pencegahannya maupun pembinaan-pembinaan yang berkaitan dengan pencegahan kenakalan remaja. Itu penguatan dan kesadaran kontrol rumah tangga terhadap putra-putranya," ujar Andry.
"Penguatan kekuatan kepolisian di malam hari melalui patroli misalnya remaja nongkrong disuruh pulang, dicatat. Itu polanya, datangi, tanyakan kepentingannya, suruh pulang dan lalu hubungi orang tuanya. Kalau dari pelaku-pelaku yang sudah melakukan (kejahatan) ya (diproses) hukum," lanjutnya.
Dari riset yang sudah dilakukan di DKI Jakarta, kata Andry, adanya penguatan tersebut efektif dalam menurunkan aksi kejahatan jalanan. Hal ini menurutnya juga dapat diterapkan di DIY.
Terlebih, di DIY sendiri juga sudah ada Jaga Warga yang diaktifkan di tiap kelurahan. Jaga Warga ini diaktifkan untuk turut melakukan pengawasan terhadap aktivitas anak, terutama di malam hari.
"Kombinasi struktural dan sosial ini menjadi efektif ketika dilakukan di Jakarta Timur dan ini bisa dijadikan model untuk melihat problem-problem yang ada di Yogya," jelas Andry.
Berbicara terpisah sebelumnya, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY menyatakan, telah melakukan pemetaan terkait klitih. Berdasarkan pemetaan tersebut, ditemukan bahwa penyebab klitih di DIY dikarenakan keluarga yang tidak harmonis.
Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati Sumardi mengatakan, hampir semua pelaku klitih di DIY berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Dalam keluarga tersebut, katanya, terjadi banyak konflik yang menyebabkan anak tidak nyaman berada di rumah.
"Entah itu orang tuanya bercerai, tidak diasuh oleh orang tuanya dan diasuh oleh orang lain, entah itu penuh dalam konflik walaupun ada ayah dan ibu, bahkan penuh kekerasan atau orang tuanya yang tidak memberi contoh yang baik," kata Erlina kepada Republika, Kamis (30/12/2021).
Erlina menuturkan, berawal dari ketidakharmonisan di rumah yang membuat banyak anak berprilaku negatif. Bahkan, hal ini juga berdampak pada ketidaknyamanan anak saat berada di sekolah maupun lingkungannya.
Dengan begitu, lanjutnya, anak mencari perkumpulan yang membuat mereka nyaman seperti masuk dalam geng-geng. Geng ini yang banyak berujung pada kenakalan dan kejahatan jalanan.
"Kalau nyantolnya teman-teman yang berperilaku negatif, maka mereka juga cenderung akan berperilaku negatif," ujar Erlina.