Meluruskan Niat Mencari Ilmu, Tujuan Utamanya Lillahi Ta’ala bukan Gelar
Meluruskan Niat Mencari Ilmu, Tujuan Utamanya Lillahi Ta’ala bukan Gelar
Selain memiliki hobi membaca dan menulis, saya memiliki hobi membaca tulisan-tulisan unik di bak kendaraan truk atau angkutan umum. Kata-katanya terkadang norak, ada juga yang lucu, menggelitik, bahkan ada pula yang bersifat kritik sosial dan sarkasme.
Dalam sebuah perjalanan dari rumah tempat tinggal saya ke kota Garut yang berjarak hampir 20 kilometer, saya pernah melihat lukisan topi sarjana di bagian belakang sebuah bak truk dihiasi sebuah kalimat, “Ijazah dan gelar sarjana bukan bukti Anda telah berpikir, tapi sebagai bukti bahwa Anda pernah belajar atau kuliah.”
Pada kesempatan lainnya, saya pernah membaca sebuah tulisan di bagian kaca belakang sebuah angkutan kota, “Ijazahku hanya setingkat Sekolah Dasar, tapi kompetensiku setingkat sarjana.”
Masih banyak kata-kata yang menggelitik lainnya yang pernah saya temukan. Namun, saya tertarik dengan dua tulisan yang ada pada dua kendaraan tersebut. Tulisannya bernada kritik sosial terhadap dunia pendidikan. Kata kunci dari tulisan “seniman jalanan” tersebut adalah ijazah, gelar, dan kompetensi.
Dalam dunia pendidikan kita selain persoalan kurikulum, sarana dan prasarana, serta kompetensi para pendidik, persoalan pemberian dan penggunaan gelar akademik selalu menambah antrian persoalan. Diakui atau pun tidak, kultur sebagian masyarakat kita masih “mendewakan” dan menghargai kualifikasi pendidikan beserta gelar akademik daripada menghargai kompetensi.
Meskipun belum diketahui kompetensinya, kebanyakan orang akan cepat menaruh hormat kepada seseorang yang di depan atau di belakang namanya terdapat embel-embel gelar akademik. Mereka dengan cepat memvonis bahwa orang tersebut adalah seorang yang berpendidikan dan pasti berpikir, berkarya, dan memiliki kompetensi yang mumpuni.
Melihat kultur sebagian masyarakat kita seperti itu, tidaklah mengherankan, jika masih banyak orang yang menjadi pemburu gelar. Mereka mengikuti pendidikan bukan karena ingin bergelut dengan buku dan ilmu, tapi mereka hanya mengejar kualifikasi, prosesi wisuda, dan keabsahan menggunakan gelar di depan atau di belakang namanya.
Banyak orang yang bergelar dalam suatu disiplin ilmu, namun ketika ditanya buku dan teori apa yang pernah dipelajari, mereka tak bisa menjawab dan menunjukkan buku yang pernah dibaca dan dipelajarinya. Apalagi ketika ditanya buku-buku wajib yang harus dibaca dan dikuasai selama mengikuti perkuliahan, mereka tak bisa menyebutkannya sama sekali.
Kini bagi sebagian mahasiswa, kayaknya bergelut “empat tahun dengan buku” selama perkuliahan hanya tertulis dalam lagu “Sarjana Muda” karya Iwan Fals. Sangatlah miris, apabila kita melihat mahasiswa dalam semua jenjang program yang masih “bermusuhan” dengan membaca buku. Padahal gelar akademis yang diperoleh identik dengan ketelatenan dan hasil “bermesraan” dengan buku. Intensitas membaca dan mengkaji buku, pada umumnya akan berpengaruh kepada kompetensi.
Bukan dalam dunia akademis formal saja, dalam dunia akademis nonformal seperti keagamaan pun kebanyakan orang masih “mempertuhankan” gelar. Ustadz, ustadzah, atau kyai yang merupakan gelar tertinggi yang berhubungan dengan penyampaian dan pemahaman agama Islam, kini gelar-gelar keagamaan tersebut begitu mudah diperoleh, bahkan kini orang yang sedikit memahami ilmu agama saja dengan percaya diri memproklamirkan dirinya sebagai ustadz, ustadzah, atau kyai.
Kondisinya berbeda dengan beberapa puluh tahun ke belakang. Ukuran kualitas, pengabdian, dan kompetensi seseorang menjadi latar belakang pemberian gelar yang berkaitan dengan masalah pemahaman, pengajaran, dan pendidikan agama. Masyarakatlah yang memberikan gelarnya, bukan diperoleh dengan cara memproklamirkan diri sebagai ustadz, ustadzah, atau kyai.
Sama halnya dengan dunia akademik, mereka yang bergelar ustadz, ustadzah, dan kiyai adalah orang-orang yang pernah bergelut dengan buku-buku agama. Nilai plus lainnya adalah mereka berguru, menggeluti, dan memahami kitab-kitab berbahasa Arab bahkan sampai mengejar sanad suatu ilmu. Sebab mau tidak mau, untuk memahami ajaran Islam, seseorang harus mau “berkeringat” untuk bergelut dengan kitab-kitab berbahasa Arab.
Sejatinya, dunia pendidikan umum maupun agama merupakan sarana untuk melahirkan orang-orang yang berkompetensi sesuai dengan displin ilmunya masing-masing. Lebih dari itu, sejatinya dunia pendidikan bukanlah gudang transfer ilmu saja yang nihil motivasi dan cinta kasih, namun dunia pendidikan harus menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kompetensi, berbudi, dan berhati mulia.
Suatu kenyataan yang tak terbantahkan, dengan dalih harus mencapai kualifikasi tertentu, terkadang pemburuan akan gelar akademis atau gelar-gelar nonformal keagamaan menjadi tujuan meskipun dalam kenyataannya kualifikasi yang diraih tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Tidaklah mengherankan jika Tom Nichols dalam karyanya “The Death of Expertise” (matinya kepakaran) menyebutkan sejak maraknya internet dan mudahnya meraih gelar, menjadi sinyal kematian kepakaran.
Ilmu yang diperoleh seseorang pada sangat dangkal sebab diperoleh bukan dari kajian membuka lembaran-lembaran buku, namun diperoleh berdasarkan jaringan internet, kuota internet yang dimiliki, dan kecepatan jari tangan dalam mengklik browser.
Dalam bukunya tersebut (hal. 93), Tom memaparkan bagaimana seseorang mampu menerangkan sesuatu dengan hanya mengklik “google”. Semuanya bisa diperoleh melalui mesin google, tak perlu “berkeringat” dan bergelut dengan buku, kitab-kitab keagamaan, tak perlu dibaca, dikaji ulang secara mendalam, tak perlu ketik ulang, tinggal copy-paste saja.
Dalam ajaran Islam, mencari ilmu itu merupakan kewajiban setiap muslim yang melekat sampai akhir hayat. Tak ada istilah berhenti mencari dan mengkaji ilmu, kecuali jika nyawa sudah berpisah dari raga.
Lelahnya badan dan otak yang terasa pusing ketika mengkaji ilmu bernilai sedekah. Sementara kesungguh-sungguhannya dalam mengkaji ilmu demi meraih kompetensi dan akhlak mulia bernilai setara dengan jihad. Langkah-langkahnya selama mencari ilmu dinilai istighfar yang juga menjadi pengundang para malaikat dan seluruh makhluk untuk mendo’akannya.
Ikhlas, lillahi ta'ala, dan sungguh-sungguh dalam mengkaji ilmu ibarat akar sebuah pohon, sedangkan gelar dan embel-embel lainnya yang diberikan masyarakat merupakan batang dan daun dari pemahaman kita terhadap ilmu yang kita kaji. Dengan demikian, sejatinya kita tidak menjadikan gelar sebagai tujuan utama dalam mencari ilmu.
Keikhlasan dan kesungguh-sungguhan dalam mencari ilmu selain akan membuahkan kompetensi atau kepakaran dalam suatu disiplin ilmu, juga akan menghasilkan pembentukan karakter atau akhlak kepribadian yang mulia. Dalam ajaran Islam sangat ditekankan, buah utama dari ilmu adalah terbentuknya akhlak mulia yang dapat mendorong seseorang untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan semakin baiknya perilaku ketika bergaul bersama sesama manusia dan makhluk Allah lainnya.
Berkenaan dengan fenomena mengejar kualifikasi melupakan kompetensi dalam mencari ilmu, Imam Ghazali dalam salah satu karyanya Minhaj al ‘Abidin (hal. 16) mengutip sabda Rasulullah saw yang disampaikan kepada Ibnu Mas’ud.
“Jika umurmu panjang, kelak kau akan mengalami suatu zaman. Pada zaman tersebut banyak sekali orang yang piawai bicara namun sedikit yang benar-benar ulama (benar-benar pakar, memiliki kompetensi, dan berakhlak mulia/takut kepada Allah), semakin banyak orang miskin, namun sedikit jumlah orang yang mau membantu mereka, dan hawa nafsu menjadi pendorong dalam mencari ilmu.”
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Kapan datangnya zaman tersebut?”
“Nanti, jika ruh (nilai-nilai) ibadah shalat sudah dimatikan (nilai-nilai ibadah shalat tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari); merajalelanya perbuatan risywah (korupsi dan kolusi); dan agama ditukar dengan kehidupan dunia yang murah.”