Lailatul Qadar Bisa Disebut Lailatun Mubaraktun

Lailatul Qadar merupakan satu malam yang diberkahi oleh Allah SWT.

Republika/Agung Supriyanto
Alquran
Rep: Ali Yusuf Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lailatul Qadar merupakan satu malam yang diberkahi oleh Allah SWT. Keberkahan malam Qadar dijelaskan dalam surah Ad-Dukhan ayat 1-5 yang artinya.

Baca Juga


"Haa Miim. Demi Kitab (Alquran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul." 
 
KH Jeje Zenudin mengatakan, yang dimaksud dengan "kitab yang menjelaskan" adalah kitab suci Alquran. Sedang 'malam yang diberkahi' adalah malam Qadar. Jadi Alquran diturunkan pada malam yang diberkahi yaitu malam gadar. 
 
"Dengan kata lain, lailatul qadar disebut juga dengan lailatun mubaraktun," tulis KH Jeje Zenudin dalam bukunya 'Seputar Masalah Puasa, Itikaf, Lailatul Qadar dan Lebaran'.
 
KH Jeje menyampaikan, yang menjadi pertanyaan, Alquran mana yang diturunkan pada malam qadar itu? Bukankah Alquan itu turun kepada Nabi secara bertahap dan terkadang hanya beberapa ayat saja selama lebih kurang dua puluh tiga tahun, sementara malam qadar itu cuma satu malam.
 
 

Berkenaan dengan maksud Alquran yang turun pada Malam Qadar itu memang ada dua pendapat para ahli tafsir. Pertama, pendapat yang menyatakan Alquran yang turun pada Malam Qadar itu adalah Alquran yang utuh secara keseluruhan dari awal hingga akhirnya. 
 
"Yaitu Alquran diturunkan dari Allah ke Lauh al-Mahfuzh (lembaran terpelihara) atau dari Lauh al-Mahfuzh ke langit dunia secara sekaligus sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad secara bertahap," katanya.
 
Imam Al-Qurthubi dalam Kitab Tafsirnya mengutip riwayat dari Al Mawardi dengan sanadnya dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata, “Alquran diturunkan ke langit dunia secara sekaligus, kemudian diturunkan ke bumi (kepada Nabi) secara berangsur-angsur (nujuman) dan dipisah-pisahkan ayat-ayatnya, lima ayat-lima ayat atau lebih sedikit dari itu atau lebih banyak dari itu. Makaitulah maksud ayat (Aku bersumpah dengan tempat beradarnya bintang-bintang).
 
Mereka yang berpendapat ini berdalil dengan Alquran ayat Al-Waqiah ayat 75-80 yang artinya: 
 
“Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelithara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam."
 
Ibnu Abas menafsirkan "mawaqiinnujum" itu adalah turunnya Alquran dari langit dunia secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya. Mereka juga beralasan bahwa kalau yang dimaksud turunnya Alquran pada Malam Qadar itu adalah turunnya kepada Nabi SAW maka ini tidak relevan, sebab turunnya Alquran kepada Nabi itu bertahap sepanjang dua puluh dua tahun lebih. 
 
"Dan yang turun kepada Nabi SAW pada pertama kali itupun hanya beberapa ayat dari surat Al-Alaq. Jadi bagaimana akan dikatakan sebagai turunnya Alqruan," katanya.
 
 

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa Alquran yang turun pada Malam Qadar itu adalah turunnya wahyu atau ayat Alquran pertama kali turun kepada Nabi pada bulan Ramadhan di Gua Hira. Mereka yang berpendapat demikian berargumen dengan surah Al-Baqarah ayat 185 yang artinya.
 
"Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil."
 
KH Jeje mengatakan, istilah diturunkan Alquran kepada nabi meliputi pengertian turunnya beberapa ayat. Artinya sudah bisa disebut seluruhnya padahal maksudnya sebagian. Sehingga kalau dikatakan Alquran turun pada bulan Ramadan maksudnya adalah beberapa ayat Alquran turun pada bulan tersebut.
 
Imam Asy-Sya'bi berpendapat bahwa yang dimaksud turun pada Malam Qadar itu adalah turun permulaannya kepada Nabi Muhammad SAW.
 
lbnu al 'Arabi mengatakan, pendapat yang dinisbatkan kepada lbnu Abbas adalah bathil. Tidak ada batas perantara antara turunnya Alquran dari Allah  kepada Malaikat Jibril dan dari Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengambil jalan tengah dengan mengkompromikan kedua pendapat di atas bahwa kedua pendapat tersebut tidaklah saling bertentangan melainkan sangat mungkin dipadukan. Bahwa kedua peristiwa itu sama-sama terjadi pada malam Qadar, baik turunnya Alquran dari Lauh Mahfudz ke langit dunia maupun turunnya ayat pertama kepada Nabi Muhammad sama-sama terjadi pada malam Qadar.
 
Menyikapi perbedaan pendapat sekitar pengertian turunnya Alquran pada malam Qadar ini, Syekh Muhammad Rasyid Ridha mengatakan,
 
"Adapun makna turunnya Al-Qur'an pada bulan Ramadhan sementara sudah diketahui secara yakin bahwa Alquran turun secara  berangsur-angsur dan sebagian-sebagian anjang masa kenabian maka maksudnya adalah pemulaan turunnya pada bulan Ramadhan, yaitu pada salah satu malamnya yang dinamakan lailatul qadar atau malam yang diberkahi menurut ayat yang lain. 
 
"Makna ini sangat jelas tanpa ada kemusykilan lagi, bahwa kata Alquran digunakan secara umum kepada keseluruhan Alquran atau kepada sebagian ayatnya," katanya.
 
 

Orang-orang yang menafsirkan Alquran sejak zaman periwayatan menyangka bahwa ayat ini musykilah, mengandung kesulitan dalam memahaminya. Sehingga untuk mengatasi kesulitan pemahaman itu mereka meriwayatkan bahwa Alquran diturunkan pada lailatul qadar dari bulan Ramadhan itu kelangit dunia yang semula berada di lauhilmahfuzh di atas tujuh lapis langit.
 
"Kemudian dari langit dunia diturunkan secara bertahap kepada nabi," katanya.
 
Lahiriyah pendapat mereka ini menyatakan bahwa pada bulan Ramadhan belum ada ayat yang diturunkan kepada Nabi dan hal ini bertentangan dengan lahiriyah beberapa ayat. Dengan pendapat mereka ini, dijadikannya bulan Ramadhan sebagai bulan berpuasa jadi tidak memiliki makna nikmat dan hikmah.
 
"Sebab keberadaan Aquran di langit dunia sama saja dengan keberadaannya di langit yang tujuh atau di lauhilmahfuzh, yang mana Alquran belum menjadi petunjuk bagi kita. Lagi pula cara turun seperti itu dan pemberitaanya yang demikian tidak memberi faedah apapun..." (Tafsir Al Manâr:ll/161).

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler