Tantangan China dalam Bisnis Global
Tantangan China dalam Bisnis Global
Oleh: Ronald Nangoi, Pemerhati Bisnis Internasional
China kini mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dan mengangkatnya ke posisi adidaya ekonomi. Sekitar dua dekade yang lalu, China muncul sebagai kekuatan ekonomi baru (newly emerging economy) dan menjadi anggota kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Namun hal ini mencemaskan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, seolah-olah China akan mendominasi ekonomi dunia. Selain Rusia, China bahkan dianggap oleh Amerika Serikat sebagai musuh daripada sekadar pesaing bisnis. Akibatnya, berlangsung ketegangan hubungan kedua negara. Jika tidak teratasi, maka ketegangan ini tidak hanya akan membahayakan hubungan dekat mereka tetapi juga mengancam pertumbuhan bisnis dan ekonomi dunia, yang telah terintegrasi erat. Kita bisa bertanya juga apakah wajar Amerika Serikat dan negara-negara Barat memperlakukan China sebagai musuh mereka.
PEMAIN BISNIS YANG KOMPETITIF
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pertumbuhan ekonomi China ditopang oleh sistem ekonomi kapitalis. Di bawah sistem ekonomi ini, perusahaan-perusahaan swasta China berkembang pesat yang memberi kontribusi besar bagi PDB negara. Dalam menerapkan kebijakan modernisasi dan membuka diri, pemimpin China Deng Xiaoping menaruh harapan besar akan reformasi ekonomi melalui privatisasi bisnis yang bersifat kapitalistik. Privatisasi industri pertanian dan manufaktur pada dasarnya telah menghidupkan ekonomi China.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa perkembangan bisnis swasta mengantar China menjadi pemain bisnis global yang kompetitif. Hal ini ditandai dengan posisi China sebagai negara pengekspor sekaligus investor asing utama. Meski total ekspor China akhir-akhir ini menurun sehubungan dengan efek pandemik, China masih memegang posisi sebagai negara pengekspor utama dunia. Total ekspornya mencapai sekitar US $2,6 triliun pada tahun 2020 atau meningkat 4% dari tahun sebelumnya (Ma, 2021). Adalah fakta bahwa berbagai produk niaga dan industri China dipasarkan di berbagai belahan dunia. Bahkan lebih dari satu dekade lalu, Steingart Gabor mengungkapkan kemajuan bisnis China dalam bukunya The War for Wealth (2008, p. 143):
"China mengamankan posisi pasar global yang mengesankan di banyak industri, dan yang mencolok adalah fakta bahwa China tetap menjadi penerima bantuan Barat. Dua pertiga semua mesin fotokopi, oven microwave, dan mainan dibuat di China, begitu juga separuh semua kamera digital, tekstil, dan kantong semen yang dijual di pasar, dan juga sepertiga komputer. Seperempat ponsel dan radio mobil, dan satu dari empat ton baja berasal dari China.”
Meski kinerja ekspornya kompetitif, China berprestasi juga dalam penanaman modal asing (PMA). PMAnya cenderung menurun akhir-akhir ini, namun Kementerian Perdagangan China, Biro Statistik Nasional dan Administrasi Valuta Asing Negara, melaporkan bahwa arus ke luar PMA China pada tahun 2020 mencapai $ 153,71 miliar atau meningkat 12,3 persen tahun-per-tahun dan menduduki peringkat pertama di dunia untuk pertama kalinya (Global Times, 2021). PMA China tentu bertujuan untuk menunjang kegiatan perdagangan internasional sehubungan dengan investasi di bidang-bidang berbasis sumber daya, teknologi tinggi, dan infrastruktur. Semua ini sekaligus melindungi supply chain management (SCM) sebagai bagian dari strategi pembangunan Belt and Road Initiative (BRI), yang menghubungkan China dengan Afrika, Asia, dan Eropa.
PENGEMBANGAN BISNIS CHINA
Sebenarnya bukan sesuatu hal yang menyimpang bagi China, yang di masa lalu mengalami kehidupan ekonomi yang buruk, untuk memanfaatkan pasar dunia guna memperkuat ekonomi dan bisnis. Hanya dalam beberapa dekade, ekspor China telah melampaui ekspor negara-negara penting, seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan Jepang. Dengan berkembangnya industri manufaktur dan infrastruktur dalam negeri, China secara bertahap menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing di pasar global. Masih relevan untuk merujuk pada pandangan Thomas Friedman tentang kebangkitan China dan India dalam bisnis global. Dalam bukunya The World is Flat (2006, hal. 141), Friedman menunjukkan peningkatan 17% dalam produktivitas industri China lebih dari dua dekade lalu yang terutama disebabkan oleh penyerapan China terhadap teknologi baru dan praktik bisnis modern.
Untuk memiliki posisi saing, China berfokus pada produksi barang dan jasa berteknologi tinggi di pasar global. Kemudian, China dari jauh hari mempersiapkan diri berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur baik di dalam negeri maupun di belahan dunia lain yang dapat mengamankan pasokan barang ekspor. Tidak bisa dipungkiri Cina sebenarnya sangat bergantung pada teknologi Barat. Oleh sebab itu, China membuka diri juga terhadap arus masuk dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Dalam 2021 World Investment Report (Santander, 2022), UNCTAD melaporkan bahwa, pada tahun 2020, China menduduki posisi negara penerima PMA terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan penerima PMA terbesar di Asia. Arus masuk PMA ke sektor teknologi tinggi telah meningkat signifikan dan saat ini mencapai hampir sepertiga total arus masuk (Santander, 2022).
Tetapi dengan makin ketatnya transfer teknologi, China mulai mengurangi ketergantungan pada Barat dengan mengembangkan teknologi maju sendiri. Termotivasi untuk memasarkan produk-produk teknologi tinggi berdaya saing global, Cina berfokus pada pengembangan teknologi melalui penelitian dan pengembangan yang intensif dengan dukungan tenaga kerja terdidik. Friedman (2006, hal. 142) menekankan:
“Para pemimpin China jauh lebih fokus pada bagaimana melatih anak-anak muda mereka dalam keterampilan matematika, sains, dan komputer yang dibutuhkan untuk sukses di dunia datar, bagaimana membangun infrastruktur fisik dan telekomunikasi yang akan memungkinkan orang China memasang dan bermain lebih cepat dan mudah daripada yang lain, dan bagaimana menciptakan insentif yang akan menarik investor global.”
Dalam bisnis masa kini, China tidak sulit mempekerjakan tenaga kerja terdidik karena masuknya arus balik (reversed brain drain) orang China, terutama dari negara maju seperti Amerika Serikat. Meningkatnya peluang bisnis di Cina kiranya melatarbelakangi arus balik tersebut. Beberapa analis berpendapat bahwa kebangkitan pusat-pusat teknologi di Shenzhen dan Beijing serta kesulitan hidup dan bekerja di Amerika Serikat sehubungan dengan perang dagang dengan China telah menarik lulusan China untuk pulang (Songwanich, 2019).
PERSEPSI CHINA SEBAGAI ANCAMAN
Dengan memiliki daya saing global, Cina telah dipersepsi terutama oleh Amerika Serikat sebagai musuh. Terlebih China berfokus pada produksi komoditas teknologi tinggi, sehingga Amerika Serikat akan bersaing head to head dengan China. Seperti kita ketahui, Amerika Serikat dan negara maju lainnya memiliki taruhan dalam teknologi maju dan industri jasa. Dan kini China menunjukkan kinerja dalam produk-produk berteknologi tinggi di pasar dunia. Dua dekade lalu, Steingart (2008, hal. 159) dalam menunjukkan posisi China yang kompetitif menyatakan:
"Hingga tahun 2004, Amerika Serikat adalah pengekspor produk-produk teknologi informasi (IT) terbesar di dunia. Keistimewaan Amerika ini telah jatuh ke tangan China. Para pebisnis China kini mengekspor produk-produk teknologi tinggi senilai $180 miliar, dibandingkan dengan Amerika Serikat, yang kini mengekspor produk-produk premium ekonomi global senilai $150 miliar. Pangsa ekspor IT global Amerika Serikat telah menurun separuh dalam 15 tahun terakhir.”
China dicurigai ingin mendominasi ekonomi dan bisnis dunia dengan memanfaatkan teknologi maju Barat. Kinerja yang tinggi seperti itu telah membangunkan Amerika Serikat, yang telah banyak berinvestasi di China dan menjadi negara investasi utama China. Banyak perusahaan China berinvestasi di perusahaan-perusahaan ternama, seperti American Multi-Cinema (AMC), General Motors, General Electric Appliance Division, Hilton Hotels, dan Spotify (Buckner, 2021).
Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi lonjakan investasi China di perusahaan rintisan teknologi tinggi sehubungan dengan strategi "Made in China 2025," yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta untuk membeli perusahaan teknologi luar negeri. Corry Bennet dan Brian Bender dari Politico.com (2018) melaporkan bahwa, pada tahun 2017, ada 165 kesepakatan yang mendapat dukungan China dan dicapai dengan perusahaan-perusahaan rintisan Amerika. Oleh sebab itu, intelijen AS antara lain telah memberi peringatan akan ancaman yang belum pernah dialami sebelumnya atas basis industri Amerika sehubungan dengan akuisisi perusahaan Amerika Serikat oleh China (Araya, 2019).
Kecurigaan Amerika Serikat terhadap China telah meningkat oleh menguatnya pandangan di kalangan Barat tentang cara-cara bisnis China seperti pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang dianggap tidak adil. Keadaan diperburuk sewaktu Donald Trump mengenakan tarif hukuman pada China pada 2018 akibat defisit perdagangan Amerika Serikat. Di bawah pemerintahan Joe Biden pun, Amerika Serikat terus memusuhi China. Dia bahkan telah memperkuat kebijakan pendahulunya dengan memperkuat aliansi anti-China dan menerapkan sanksi tambahan (Huang, 2021).
PERSAINGAN BISNIS DALAM PERSPEKTIF
Namun, Amerika Serikat telah menjadikan isu HKI dan demokrasi alasan yang masuk akal untuk memulai perang dagang terhadap China. Pelanggaran HKI di China memang merugikan Amerika Serikat ratusan miliar dolar setahun (Huang, 2021). Argumen bahwa China lebih kuat dalam bisnis dan ekonomi dijadikan alasan Amerika Serikat untuk bermusuhan tentu tidak begitu berdasar. Dalam konteks bisnis internasional, tidak mudah berpandangan bahwa China telah melakukan pelanggaran dalam memanfaatkan peluang bisnis internasional, seperti melakukan PMA dan aliansi bisnis dengan perusahaan-perusahaan Amerika. Melalui PMA/aliansi bisnis, lazim bagi perusahaan-perusahaan China untuk memperoleh teknologi yang bermanfaat bagi bisnis dan ekonomi negara.
Adalah kenyataan bahwa China merupakan kekuatan ekonomi baru yang didukung oleh perusahaan-perusahaan yang kompetitif. Oleh karena itu, sebaiknya posisi kuat China ditempatkan dalam perspektif bisnis . Kita tidak dapat mengabaikan bahwa, selain didukung oleh kebijakan ekonomi negara, pebisnis swasta China berusaha kompetitif dengan menerapkan manajemen bisnis modern, termasuk SCM, yang diserap antara lain dari aliansi bisnis strategis. Merek dagang perusahaan Barat juga digunakan dalam promosi pemasaran, karena konsumen global akrab dengan merek dagang Barat.
Menurut Steingart (2008, hal. 176), pabrikan China TCL telah membeli koleksi merek dagang dan saham yang menarik di perusahaan-perusahaan Eropa dan AS, sehingga memungkinkan pabrikan ini untuk menjual produk dengan nama-nama Barat terkenal, seperti Alcatel, Schneider, dan Thomson. Dia juga memberi contoh akan keberhasilan akuisisi personal computer (PC) IBM oleh Lenovo, produsen komputer dan notebook China. Akuisisi semacam itu tentu tidak hanya memungkinkan Lenovo untuk mendapatkan teknologi IBM tetapi juga berbagi keunggulan diferensial pemasaran IBM, seperti penggunaan merek global dan distribusi global IBM.
Dari perspektif ini, sikap protektif dan memusuhi China, atas dasar pemikiran ‘win-lose,’ kurang tepat bagi Amerika Serikat. Bahwa China menjadi faktor ancaman bagi Amerika Serikat sulit dipahami. Sikap ini dapat mengakibatkan tidak hanya hubungan bermusuhan yang tidak produktif tetapi juga mengancam perkembangan ekonomi dunia. Kita mengharapkan tanggapan Amerika Serikat secara positif atas dasar pemikiran ‘win-win’ atau ‘win” dan terhadap kemajuan China dalam perspketif persaingan bisnis. Pandangan Joel Kotkin (2022) dari Claremont Institute cukup menarik bahwa bahwa tantangan hanya dapat dihadapi dengan tanggapan nasionalisme baru di setiap tingkat—dari militer yang semakin meningkat, hingga pembangunan industri dan pertanian Amerika Serikat. Menurut Kotkin, kunci keberhasilan nasionalisme baru terletak pada pemanfaatan kekuatan ekonomi produktif AS—produk riil, bukan produk digital semata. Fokus pada ekonomi digital telah memperlambat dan mengurangi produktivitas AS dan meningkatkan ketimpangan sosial.
Terlebih, saling ketergantungan tidak terhindarkan dalam bisnis global. China membutuhkan Barat dalam mengembangkan teknologi maju dan pasar. Sebaliknya, Amerika Serikat seharusnya melihat China dengan populasi yang begitu besar sebagai pasar yang penting. Di samping itu, tidak sedikit perusahaan global Amerika telah melakukan investasi besar di Cina, dan sebaliknya tidak sedikit perusahaan bisnis Cina telah melakukan investasi besar-besaran di banyak sektor seperti infrastruktur, pertambangan, manufaktur, real estat, hiburan, dan keuangan di banyak negara bagian dan wilayah Amerika Serikat.
Selain itu, China berusaha meyakinkan masyarakat dunia bahwa, berdasarkan sejarah, negara ini tidak memiliki niat untuk menjadi ekspansionis tetapi untuk memperkuat bisnis dan ekonomi demi kesejahteraan rakyatnya. Alih-alih bersikap bermusuhan, China memfokuskan diri pada pengembangan ekonomi dan teknologi dengan meningkatkan keunggulan kompetitif bisnisnya.
Dalam perspektif bisnis, kita menyaksikan kuatnya aliansi bisnis perusahaan China dan Amerika Serikat. Artinya, mereka telah terintegrasi erat dalam memproduksi dan memasarkan produk global. Tidak sedikit produk global Amerika telah diproduksi dengan menggunakan SCM di negara-negara Asia, khususnya di China. Oleh karena itu, hubungan yang tidak bersahabat dapat merugikan kedua belah pihak, karena dapat mengganggu rantai produksi atau operasi yang terintegrasi. Mereka akan membayar harga yang jauh lebih tinggi daripada melonggarkan aliansi bisnis yang erat dan saling ketergantungan.
CATATAN PENUTUP
Dengan demikian, perlakuan terhadap China sebagai musuh tidak produktif dan bahkan menciptakan ketidakpastian dalam hubungan masa depan antara Amerika Serikat dan China sebagai ekonomi utama. Untuk alasan apa pun, hubungan yang tidak bersahabat tidak produktif, terutama mengingat realitas akan ketergantungan dan integrasi ekonomi dan bisnis dunia saat ini. Proteksionisme Amerika Serikat terhadap China jelas mengancam kelangsungan prinsip perdagangan bebas di bawah WTO.
Sebaliknya, Amerika Serikat perlu meninjau kembali kebijakan perang dagang dengan China, karena dapat mengakibatkan situasi ‘lose-lose.’ Jauh lebih baik bagi mereka untuk kembali menjalin hubungan bisnis dan kerjasama ekonomi sembari belajar satu sama lain. Amerika Serikat dapat mengambil keuntungan dari ketergantungan China pada Amerika Serikat dan teknologi barat. Pada tingkat bisnis mikro, kedua belah pihak dapat mengambil kesempatan untuk menjadi aliansi bisnis yang sinergis, yang merupakan praktik umum saat ini antar pelaku bisnis global, daripada saling berseteru.
Atas setiap pelanggaran HKI dan sejenisnya, Amerika Serikat sebenarnya bisa memanfaatkan forum organisasi internasional seperti WTO untuk mendapat penyelesaian yang layak. Selain mengambil bentuk aliansi bisnis strategis, Amerika Serikat tentu bebas mengembangkan daya saing perusahaan menghadapi bisnis China. Langkah seperti ini tentu jauh lebih produktif bagi kalangan perusahaan Amerika Serikat dalam pemasaran produk global.
Pada tingkat makro, ketergantungan dan integrasi menjadi realita ekonomi global tanpa mengabaikan persaingan yang menjadi ciri bisnis. Amerika Serikat perlu terlebih dahulu memperkuat ekonomi—ekonomi riil yang produktif—karena negara ini memiliki penelitian dan pengembangan yang kuat, ilmu pengetahuan, tenaga kerja terdidik, teknologi, nilai-nilai demokrasi, dan sumber daya alam untuk memiliki posisi tawar yang kuat.
Seperti kita pahami, masyarakat Amerika seharusnya mewarisi nilai-nilai kesetaraan, prestasi, aksi, karya, perubahan, kemajuan, dan nilai-nilai besar lainnya dari para pendiri negara mereka, yang dapat mendukung revitalisasi bisnis dan ekonomi Amerika Serikat. Dengan demikian, Amerika Serikat perlu memperkuat bisnis yang sebagian besar dirintisnya, termasuk bisnis global, perdagangan luar negeri, PMA, dan aliansi bisnis. Pilihannya ada di pihak Amerika Serikat, yang diharapkan dapat memelihara prinsip saling ketergantungan dan integrasi antar kekuatan-kekuatan ekonomi dunia daripada menyebarkan nilai perseturuan.
Referensi
Araya, D. (2019, January 14). China's Grand Strategy. Retrieved from Forbes.com: https://www.forbes.com/sites/danielaraya/2019/01/14/chinas-grand-strategy/?sh= 4b1b32901f18
Bennet, C., & Bender, B. (2018, May 22). How China acquires ‘the crown jewels’ of U.S. technology. Retrieved from Politico.com: https://www.politico.com/story/2018/05/22/ china-us-tech-companies-cfius-572413
Buckner, D. (2021, January 12). American Companies You Didn’t Know Were Owned By Chinese Investors. Retrieved from Made in America.com: https://www.madeinamerica.com/ chinese-investors/
Friedman, T. L. (2006). The World is Flat: The Globalized World in the Twenty-First Century. London: Penguin Books.
Global Times. (2021, September 29). China ranks No.1 globally in outward FDI for the first time. Retrieved from Global Times: https://www.globaltimes.cn/page/202109/1235451.shtml
Huang, Y. (2021, September 16). The U.S.-China Trade War Has Become a Cold War. Retrieved from Carnegie Endowment for International Peace: Yukon Huang, “The U.S.-China Trade War Has Become a Cold War,” September 16, 2021, Carnegie Endowment for International Peace, https://carnegieendowment.org/2021/09/16/u.s.-china-trade-war-has-become-cold-war-pub-85352
Kotkin, J. (2022, March 16). A New Nationalism. Retrieved from americanmind.org/: https://americanmind.org/salvo/a-new-nationalism/?utm_medium=email&_hsmi= 207168748&_hsenc=p2ANqtz-9rg89MB3rLIMqWT0yj0ISufY9qAFP_ tiD7dp2cQvZx713NoO3nNL_VscN6NtMxKBF0E2Nxz_cmyb-s_hOWV1d5AFIx9Q& utm_content=207168748&utm_source=hs_email
Ma, Y. (2021, July 9). Export of goods from China 2010-2020. Retrieved from Statista: https://www.statista.com/statistics/263661/export-of-goods-from-china/#:~:text= In%202020%2C%20China%20exported%20approximately,compared%20to%20the%20previous%20year.
Santander. (2022, March). CHINA: FOREIGN INVESTMENT. Retrieved from Santander Trade: https://santandertrade.com/en/portal/establish-overseas/china/foreign-investment#:~:text =China's%20main%20investors%20have%20remained,States%20count%20among
Songwanich, S. (2019, March 4). The Asian Voice: China's reverse brain drain: Nation columnist. Retrieved from The StraitsTimes.com: https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/chinas-reverse-brain-drain-nation-columnist
Steingart, G. (2008). The War for Wealth: The True Story of Globalization, or Why the Flat World is Broken. New York: McGrawHill.