Menelisik Isu Pendidikan dalam Kampanye Pilpres 2024
Pendidikan yang baik akan melahirkan tradisi politik yang baik pula
Bagaimana isu pendidikan bisa mendominasi wacana kampanye Pemilu 2024? Apakah jelang perhelatan lima tahunan itu masih didominasi "cebong-kampret" atau "kadrun-buzzerRp"? Sejatinya, gambaran masyarakat melek politik bisa dilihat dari wacana saat proses kampanye pemilu. Pendidikan dan politik memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Meski keduanya ada perbedaan, tapi juga memiliki kesamaan. Pendidikan yang paripurna mampu mewujudkan politik yang adiluhung.
Pendidikan yang bermutu diharapkan bisa menghasilkan kualitas warga negara yang bijak dalam berpolitik. Tidak hanya sadar untuk menunaikan hak dan kewajiban dalam berpolitik, namun juga ikut aktif menciptakan keseimbangan, keharmonisan, keteduhan, kebahagiaan, penuh moralitas dan keadaban sebagai warga sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Peran elit partai politik dalam menciptakan keteduhan pun sangat besar. Pendidikan politik yang diberikan kepada khalayak tidak hanya sebatas retorika. Namun, dibutuhkan keteladanan atas perkataan, sikap, perbuatan dan tingkah laku sehari-hari. Era di mana semua mata bisa mengungkap hal paling rahasia, terlebih melalui jejak digital, maka elit partai politik harus bisa mengedepankan edukasi politik sebagai aspek strategis.
Media sosial menjadi bukti betapa kerasnya persaingan politik. Pemilu 2014 dan 2019 menjadi bukti betapa polarisasi masyarakat begitu tajam. Pembagian atas kelompok masyarakat kian meruncing, bahkan hingga sekarang, dengan munculnya fragmentasi bernama "cebong-kampret" ataupun "kadrun-buzzerRp". Sebuah peyorasi (perubahan makna lebih buruk) yang ditujukan untuk mengejek sekelompok masyarakat.
Pemilu 2024 menjadi pembuktian seperti apa wajah media sosial kita. Tentunya, kita tidak mengharapkan adanya pembagian dua kutub ekstrim kelompok masyarakat. Pendidikan sejatinya dirumuskan sebagai proses pengembangan dan latihan yang ditujukan memberikan pencerahan. Pendidikan hendaknya mampu mengeluarkan masyarakat dari kegelapan kepada terang benderang.
Negara tidak membutuhkan elit-elit politik yang hanya memikirkan kepentingan sesaat dan bersifat pribadi maupun golongan. Apalagi jika dilakukan dengan menyebar fitnah, hate speech, black campaign dan hal negatif lainnya. Kita harus mengembalikan peran pendidikan politik agar masyarakat tercerahkan saat harus menentukan siapa yang dia pilih sebagai penyelenggara negara lima tahun ke depan. Suara rakyat adalah suara Tuhan, demikian pendapat Thomas Hobbes.
Rakyat yang menentukan pilihan sehingga para pemimpin yang dipilihnya berhasil menduduki suatu jabatan politik. Bisa dibayangkan, jika rakyat tidak ambil bagian dalam Pemilu, sudah barang tentu, wakil rakyat yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin, tidak akan keluar sebagai pemimpin.
Pendidikan yang baik akan melahirkan tradisi politik yang baik pula. Proses menuju Pemilu 2024 harus diwarnai dengan keteduhan, bukan perang tagar atau hastag yang penuh kebencian. Sudah saatnya rakyat tidak lagi diobok-obok dengan nuansa politik praktis yang hanya mengandalkan kepentingan non-negara.
Rakyat harus diberikan pemahaman lebih luas bahwa politik itu sebenarnya baik ketika orang yang menjalankannya memiliki wawasan yang baik dengan hati yang bersih pula. Kegaduhan saat Pemilu 2014 dan 2019 tidak boleh terulang. Rakyat sudah jenuh karena dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab demi mencapai tujuan yang tidak berpihak pada rakyat itu sendiri. (*)