Prospek Saham dan Obligasi Indonesia di Tengah Kenaikan Suku Bunga The Fed

Obligasi Indonesia lebih resiliens dibanding negara lain dengan peringkat utang sama

ANTARA/Sigid Kurniawan
Pekerja melintas di samping layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Obligasi Indonesia tampak lebih resiliens dibanding negara lain dengan peringkat utang sama dan prospek investasi di Indonesia diakui oleh investor asing, tercermin dari aliran dana asing yang masuk sebesar Rp72 triliun sejak awal tahun sampai 28 April 2022, sebelum libur Idul Fitri, mendorong IHSG naik 9,84 persen dalam 4 bulan, tertinggi di kawasan Asia Pasifik.
Rep: Retno Wulandhari Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar saham dan obligasi Indonesia disebut masih prospektif di tengah kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed). Seperti diketahui, rapat FOMC memutuskan kenaikan suku bunga Fed funds rate sebesar 50 basis poin pada 4 Mei lalu. 

Baca Juga


Chief Economist & Investment Strategist Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, mengatakan kenaikan suku bunga sebesar 50bp tersebut sesuai dengan konsensus perkiraan pasar. Walaupun demikian, beberapa kondisi terkini membuat pasar memperkirakan prospek inflasi Amerika Serikat masih sulit dikendalikan.

Di dalam negeri, indeks harga konsumen April meningkat 0,95 persen dari bulan lalu ke level 3,47 persen. Jika harga-harga yang dikendalikan pemerintah seperti BBM, TDL, dan harga gas masih naik, Katarina memperkirakan inflasi bahkan bisa mencapai 4,4 - 4,8 persen. 

Katarina mengakui angka inflasi ini lebih tinggi dari biasaya, namun secara relatif dibandingkan dengan negara-negara lain dan dibandingkan dengan kondisi Indonesia satu dekade lalu yang sempat mencapai 8 persen, kondisi inflasi Indonesia saat ini jauh lebih baik. 

"Ditopang oleh fundamental makroekonomi yang solid dan sinergi serta kesiapan pemerintah dan bank sentral, kami optimis inflasi Indonesia akan tetap dalam kendali," kata Katarina dalam risetnya dikutip Rabu (11/5). 

Bank Indonesia (BI) menyatakan tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga karena peningkatan inflasi dan akan mengutamakan pendekatan lain seperti menaikkan GWM. BI akan memantau inflasi inti dan tidak akan menaikkan suku bunga berdasarkan dampak instan kenaikan administered prices. Katarina memperkirakan 2 sampai 3 kali kenaikan suku bunga BI mencapai 4,00-4,25 persen sampai akhir 2022.

Di tengah kekhawatiran terhadap stagflasi global (inflasi yang bertahan tinggi dikombinasikan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi), Indonesia diprediksi akan membukukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tahun ini dibandingkan tahun lalu.

Sebagai salah satu produsen dan eksportir komoditas terbesar di dunia Indonesia juga menawarkan lindung nilai alami untuk investasi di tengah terus meningkatnya harga komoditas.

Menariknya prospek investasi di Indonesia diakui oleh investor asing, tercermin dari aliran dana asing yang masuk sebesar Rp 72 triliun sejak awal tahun sampai 28 April 2022, sebelum libur Idul Fitri, mendorong IHSG naik 9,84 persen dalam 4 bulan, tertinggi di kawasan Asia Pasifik.  

Sementara itu di tengah penurunan pasar obligasi global, pasar obligasi Indonesia masih menunjukkan resiliensi dibandingkan negara-negara lain dengan peringkat utang yang sama. Peningkatan outlook Indonesia menjadi stable yang diumumkan Standard & Poor menunjukkan apresiasi terhadap perbaikan fundamental Indonesia.

"Pemulihan ekonomi dan kuatnya fundamental Indonesia akan tetap menjadi penopang pasar saham dan obligasi Indonesia ke depan," kata Katarina. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler