Studi Jawab Teka-Teki Mengapa Sebagian Perokok tidak Alami Kanker Paru-Paru
Kebiasaan merokok jadi faktor risiko terbesar seseorang terkena kanker paru-paru.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko terbesar untuk kanker paru. Di Amerika Serikat misalnya, kebiasaan merokok berkaitan dengan sekitar 80-90 kematian akibat kanker paru. Meski begitu, tak semua perokok akan mengalami kanker paru.
Menurut sebuah studi terbaru, sebagian perokok tampak lebih "kebal" dari risiko kanker paru karena faktor genetik. Faktor genetik tersebut membantu mereka membatasi mutasi atau perubahan pada DNA yang mungkin bisa berubah menjadi sel ganas dan menumbuhkan tumor.
Para ilmuwan mencurigai bahwa kebiasaan merokok dapat menyebabkan kanker paru dengan cara memicu mutasi DNA pada sel sehat. Akan tetapi, ilmuwan kesulitan untuk mengidentifikasi mutasi pada sel-sel sehat yang dapat membantu memprediksi risiko kanker di masa depan.
Hal ini mendorong peneliti Jan Vijg PhD dari University School of Medicine di Cina untuk melakukan studi lebih lanjut. Vijg dan timnya menggunakan sebuah proses bernama single-cell whole genome sequencing untuk memeriksa sel-sel pada lapisan paru dari para partisipan.
Ada 19 perokok dan 14 non perokok yang terlibat dalam studi ini sebagai partisipan. Usia para partisipan memiliki rentang usia yang lebar, dari praremaja hingga pertengahan 80-an.
Sel-sel yang diteliti diambil dari sampel jaringan yang berasal dari paru-paru para partisipan. Jaringa ini diambil ketika para partisipan melakukan tes diagnosis yang tak berkaitan dengan kanker.
Para partisipan secara spesifik memeriksa sel-selyang melapisi paru-paru karena sel-sel ini bisa bertahan selama bertahun-tahun dan menumpuk mutasi seiring waktu. Mutasi-mutasi ini berkaitan dengan penuaan dan kebiasaan merokok.
"Dari semua jenis sel paru, ini merupakan yang paling mungkin menjadi kanker," jelas peneliti dan profesor dari Albert Einstein College of Medicine di New York Simon Spivack MD, seperti dilansir WebMD, Sabtu (14/5/2022).
Hasil studi menunjukkan bahwa para perokok memiliki lebih banyak mutasi yang dapat memicu kanker paru dibandingkan non perokok. Menurut Spivack, studi ini mengonfirmasi bahwa merokok memang meningkatkan risiko kanker paru dengan cara meningkatkan frekuensi mutasi, seperti hipotesis yang sudah ada sebelumnya.
"Ini mungkin yang menjadi alasan mengapa sangat sedikit non perokok yang tidak terkena kanker paru, namun 10-20 persen perokok jangka panjang mengalaminya," lanjut Spivack.
Sebagai tambahan, tim peneliti menemukan bahwa di antara para perokok yang terlibat dalam studi ini, ada yang memiliki skor mencapai 116 pack-years. Satu pack-years setara dengan merokok sebanyak satu pak per hari selama satu tahun.
Jumlah mutasi yang ada pada sel-sel paru perokok meningkat seiring dengan semakin besarnya skor pack-years mereka. Akan tetapi, jumlah mutasi ini tampak tidak bertambah setelah perokok mencapai 23 pack-years. Hal inilah yang dinilai memberikan peluang bagi gen sebagian orang untuk melawan mutasi.
"(Sebagian perokok berat) bisa bertahan sangat lama meski memiliki kebiasaan merokok berat karena mereka dapat menekan akumulasi mutasi lebih lanjut," jelas Spivack.
Terlepas dari temuan ini, merokok tetap merupakan kebiasaan yang dapat membahayakan kesehatan. Tak ada yang dapat menjamin apakah seseorang di masa depan akan terkena kanker paru atau tidak dari kebiasaan merokok ini.
Selain kanker paru, kebiasaan merokok juga berkaitan dengan beberapa penyakit lain seperti strok, diabetes, penyakit paru obstruktif kronis, hingga penyakit jantung. Oleh karena itu, kebiasaan merokok sebaiknya dihindari.