Film KKN di Desa Penari: Bukti Leisure Business Semakin Bertumbuh

Film KKN di Desa Penari: Bukti Leisure Business Semakin Bertumbuh

Dewa Gde Satrya
Rep: Editor (swa.co.id) Red: Editor (swa.co.id)


Oleh: Dewa Gde Satrya, Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya





Liburan lebaran kali ini selain disambut dengan antusiasme mudik, juga disemarakkan dengan penayangan film nasional “KKN di Desa Penari”. Penayangan film yang kisahnya pernah trending di social media tahun 2019, mencapai jumlah penonton yang fenomenal dalam hitungan hari sejak awal penayangannya di bioskop. Tercatat, dalam 9 hari, film ber-genre horor itu menembus angka 3 juta penonton. Produser film meyakini, di akhir bulan Mei, jumlah penonton tersebut akan menutup  biaya pembuatan film sebesar Rp 15 miliar. Kehadiran film nasional yang berkualitas menjawab kerinduan publik akan film nasional bermutu tinggi, sekaligus kebangkitan industri leisure di Tanah Air pasca pandemi.



Menurut UU Perfilman porsi beredarnya film impor 40% dan film nasional 60%, namun kenyataan justru sebaliknya. Itu artinya, pangsa pasar di Indonesia sangat besar, dan sayang jika ditinggalkan. Beberapa tahun lalu, film Indonesia menyumbang 7 persen dari keseluruhan ekonomi, di kisaran Rp 100 triliun dengan serapan 5.4 juta tenaga kerja. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perlu semakin massif menargetkan produksi film dalam negeri, minimal 200 film dalam satu tahun. Kemampuan sineas kita dalam memproduksi film rata-rata 90 film dalam setahun. Sebagai perbandingan, India mampu memproduksi 700 film lebih pert ahun dengan jumlah gedung bioskop mencapai ribuan unit. Dengan fakta itu, India mampu menyedot lebih dari lima juta tenaga kerja untuk masuk dalam sektor perfilman.



Selain mendorong pertumbuhan film dalam negeri, kebijakan yang memberikan insentif bagi tumbuh kembangnya perfilman nasional patut dihadirkan. Melalui kebijkan tersebut, dan dukungan pasar dalam negeri, niscaya film nasional mendapat porsi yang besar di pasar dalam negeri di antara peredaran film-film impor dari Hollywood, India dan Mandarin.



Susan Horner & John Swarbrooke (2005) mengidentifikasi lima pendekatan konsep leisure, pertama, leisure as an activity, kedua, leisure as a time, ketiga, leisure as a state of being, keempat, leisure as a way of life, dan kelima, leisure as an all pervading holistic concept. Identifikasi tersebut menunjukkan bahwa bisnis leisure memiliki ruang yang sangat luas.



Pada masa pandemi, bisnis leisure mengalami tekanan yang berat, dan membutuhkan kreativitas serta modifikasi untuk memberikan 5 karakter dasar jasa pada konsumen dengan basis layanan yang bergeser atau berpindah ke rumah-rumah. Hal semacam ini tidak pernah terpikirkan. Kelima karakteristik jasa yang telah dicoba dan diperbaiki dalam penyampaian layanan jasa selama masa pandemi adalah, intangibility, inseparability, heterogeneity, perishability, lack of ownership. Sekali lagi, selama pandemi hal ini tidaklah mudah, namun bukan tidak mungkin untuk dilakukan.



Betapa sulit sekali pun situasi pandemi, kebutuhan leisure tetap ada dan berada di tempat yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, meski tidak sebesar pada situasi normal. Ada Sembilan segmen bisnis leisure (Horner & Swarbrooke, 2005), yakni, the home lover, shopper, tourist, hedonist, spiritualist, student, consumer, artist dan sport person. Bagi kalangan home lover, situasi pandemi merupakan momen yang melekat dengan karakteristiknya, namun bagi kalangan lainnya, kebutuhan leisure yang dapat dipenuhi dari rumah merupakan peluang bagi pelaku usaha. Kini, pelajaran selama masa pandemi memperkuat basis layanan industri leisure, salah satunya perfilman, bioskop dan mata rantai terkait.



Film, leisure activity dan bioskop merupakan bagian integral dari turisme, maka tiga aspek dalam turisme perlu dijamin dan dilindungi. Di antaranya, dorongan masyarakat (wisatawan domestik) untuk melihat sesuatu yang menarik (something to see), beraktivitas yang memenuhi kebutuhan rekreatif (something to do), dan membeli sesuatu yang menyenangkan (something to buy). Salah satu harapan besar menyertai insentif pertumbuhan produksi film nasional adalah semakin banyaknya produksi film berlatar belakang destinasi wisata di Indonesia, mengangkat budaya dan cerita tentang Indonesia.



Place storytelling diakui sebagai alat untuk meningkatkan reputasi tempat ketika bersaing dalam pasar pariwisata di era digital. Melalui media digital, masyarakat dapat didorong untuk menceritakan kisah dan berbagi pengalamannya ketika berwisata. Model place storytelling dapat digunakan oleh pemerintah dan organisasi budaya untuk meningkatkan keterlibatan stakeholder pariwisata pada proses multilevel untuk memperbaiki sistem pemasaran dan komunikasi di era digital (Bassano, 2018).



Karena itu, film berbasis destinasi wisata, budaya, cerita (mitos maupun fakta) suatu daerah, menjadi strategi pemasaran dan komunikasi di era digital. Era 1990-an, ada film Cintaku di Way Kambas yang diperankan Mathias Muchus dan Ira Wibowo. Era 2000-an ada film Denias yang berlatar belakang Papua yang juga menjadi ‘alat promosi’ bagi Papua. Juga, film Laskar Pelangi yang mengangkat novel karya Andrea Hirata dengan background alam Belitung yang eksotik. Pencitraan Belitung sebagai pulau tambang timah yang erat dengan kerusakan alam, berubah sebagai daerah tujuan wisata yang kaya akan obyek wisata alam yang menarik untuk dikunjungi wisatawan. Pencitraan tersebut semakin kuat dengan berhasilnya film Laskar Pelangi di masyarakat beberapa waktu lalu.  



Di tingkat internasional, film dan prestasi atas suatu film turut membentuk citra dan reputasi negara yang menjadi background pembuatan film. Seperti, film Jamila dan Sang Presiden mendapat penghargaan pada Asiatica Filmmediale Festival (AFF) yang berlangsung di Roma, Italia. Kedua film itu mendapatkan penghargaan dari "The Network for the Promotion of Asian Cinema" (Netpac), sebuah organisasi perfilman yang beranggotakan sekitar 29 negara dan berkantor di Singapura. Untuk Indonesia, film Jamila dan Sang Presiden merupakan film Indonesia kedua yang mendapatkan penghargaan dari Netpac setelah Bird Man Tale yang diberikan di Berlin International Film Festival tahun 2003. Kiranya, perfilman nasional semakin menjadi tuan dan nyonya di negeri sendiri, dan menjadi energi positif bertumbuhnya industri leisure di Tanah Air. Film KKN di Desa Penari menjadi bukti akan hal tersebut.


Lihat Artikel Asli
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan swa.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab swa.co.id.
Berita Terpopuler