Epidemiolog Ingatkan Cacar Monyet Berpotensi Jadi Epidemi
Epidemiolog mengingatkan cacar monyet berpotensi untuk menjadi epidemi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengingatkan penyakit cacar monyet (monkeypox) berpotensi menjadi epidemi. Saat ini cacar monyet berstatus endemi dan jika kasusnya terus terjadi di berbagai wilayah atau negara maka bisa menjadi epidemi.
"Cacar monyet jelas berpotensi menjadi epidemi. Saat ini memang endemi dan dengan status wabah tetapi menurut saya perlu dikeluarkan peringatan, bisa jadi dalam bentuk public health emergency ketika sebarannya semakin serius, meluas, apalagi kalau ada kasus kematian," ujar Dicky, Jumat (3/6/2022).
Ia meyebutkan, kasus cacar monyet di Afrika tahun ini sekitar 1.200 lebih dan jumlahnya jauh lebih besar dari kasus penyakit serupa di negara maju 1 hingga 2 bulan terakhir.
Kendati demikian, dia melanjutkan, kondisi ini sebelumnya tidak heboh, bahkan cenderung cuek-cuek saja. Namun, ketika kasusnya terjadi di negara maju baru menjadi heboh padahal di Afrika terlebih dahulu sudah ribuan kasusnya. Bahkan, perusahaan farmasi Pfizer baru akan membuat alat tesnya sekarang-sekarang ini.
"Kemarin-kemarin kemana, jadi ini pelajaran penting ketika penyakit itu endemi dan dibiarkan, dianggap biasa saja, tinggal tunggu waktu menjadi wabah yang merugikan dunia. Meski tidak menjadi pandemi, epidemi kan merugikan," katanya.
Ia menambahkan, status epidemi artinya wabah yang besar. Meski tidak ada di setiap negara, ini akan mengganggu dan ini akan punya potensi mengurangi rencana pemulihan pascapandemi Covid-19.
Terkait cacar monyet bisa menjadi pandemi, ia menilai tidak ada potensi itu. Menurutnya, kemungkinan itu jauh sekali. Namun, Dicky mengakui cacar monyet bisa saja memasuki Indonesia. Sebab, globalisasi, padatnya aktivitas, hingga akses penerbangan yang cepat memungkinkan penyakit ini memasuki Tanah Air.
"Tentu ada potensi masuknya cacar monyet ke Indonesia. Kita melihat di era sekarang ketika terjadi kasus atau wabah maka ada kemungkinan menyebar karena globalisasi, penerbangan yang begitu cepat, hingga aktivitas manusia yang begitu tinggi," ujarnya.
Kemudian, dia menambahkan, persoalan semakin ditambah dengan karakter masa inkubasi infeksi cacar monyet selama tiga pekan. Artinya, dia menambahkan, penyakit ini tidak akan terdeteksi sampai yang tertular cacar monyet tiba di lokasi tujuan, kemudian timbul gejala, dan akhirnya menularkan ke yang lainnya.
Sehingga,dia melanjutkan, skrining di bandara belum tentu bisa langsung mendeteksi penyakit ini. Persoalan lainnya adalah pelonggaran yang kebablasan di banyak negara, termasuk Indonesia. Ini membuat ada fenomena balas dendam dan masyarakat jadi abai.
"Persoalan ditambah dengan pengetahuan cacar monyet ini kan jarang sekali terjadi karena endemiknya di Afrika. Sehingga banyak masyarakat tak paham," ujarnya.