WHO akan Ubah Nama Virus Monkeypox demi Hindari Stigma dan Rasisme
Virus 'monkeypox' sering dideskripsikan berasal dari Afrika.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berencana untuk mengubah nama virus monkeypox yang menyebabkan cacar monyet. Rencana ini muncul karena adanya kekhawatiran mengenai stigma dan rasisme terkait virus yang kini menyebar di banyak negara tersebut.
Seperti diketahui, virus monkeypox sering kali dideskripsikan sebagai virus yang berasal dari Afrika. Selain itu, tak jarang foto-foto orang Afrika digunakan untuk memberi gambaran mengenai wabah cacar monyet. Padahal, wabah cacar monyet saat ini terjadi di Eropa.
Penggunaan foto pasien dan orang Afrika dalam pemberitaan mengenai wabah cacar monyet merupakan salah satu manifestasi paling nyata dari masalah stigmatisasi dan rasisme yang menyelimuti virus monkeypox. Sebelumnya, Foreign Press Association di Afrika juga mengimbau media di dunia berhenti menggunakan foto orang-orang Afrika untuk menggambarkan wabah cacar monyet yang saat ini terjadi di Eropa.
Sebanyak 30 orang ilmuwan internasional juga sempat merilis artikel mengenai adanya urgensi untuk memberikan nama baru bagi virus monkeypox. Mereka mengimbau agar nama baru ini tidak memicu diskriminasi dan stigmatisasi pada kelompok tertentu.
"Untuk menekan dampak negatif yang tak perlu bagi negara, wilayah geografis, ekonomi, dan orang-orang (yang terdampak), seta mempertimbangkan evolusi serta penyebaran virus," jelas kelompok ilmuwan tersebut.
Tak lama setelah artikel tersebut dirilis, WHO mulai mengambil langkah untuk merumuskan nama baru bagi virus monkeypox. WHO dan para rekanan serta ahli dari berbagai negara juga akan merumuskan nama baru bagi claude virus dan penyakit yang ditimbulkan oleh virus monkeypox. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berjanji bahwa nama-nama baru ini akan diumumkan secepatnya.
"(Menganggap virus monkeypox sebagai virus Afrika) bukan hanya tidak akurat tetapi juga diskriminatif dan menstigmatisasi," jelas Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti dilansir 9News, Kamis (16/6/2022).
Ghebreyesus mengungkapkan bahwa wabah cacar monyet yang terjadi saat ini jelas tak biasa dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, WHO juga akan menentukan apakah kasus cacar monyet yang terjadi saat ini dapat menjadi kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional atau tidak.
Sejauh ini sudah ada 1.600 kasus infeksi virus monkeypox yang terkonfirmasi di 39 negara. Selain itu, ada sekitar 1.500 kasus yang berstatus suspek atau dicurigai sebagai cacar monyet.
Kasus kematian terkait cacar monyet juga terkonfirmasi di beberapa negara. Sejauh ini, kasus kematian terkait cacar monyet yang sudah terkonfirmasi adalah 72 kasus kematian yang berasal dari tujuh negara terdampak.
Dari 39 negara yang memiliki kasus cacar monyet, sebanyak 32 di antaranya merupakan negara yang sebelumnya tak bermasalah dengan virus monkeypox. Salah satu dari negara tersebut adalah Australia. Per 2022, ada lima kasus cacar monyet yang ditemukan di Australia.