Krisis Pangan Akibat Konflik Ukraina Bisa Picu Gelombang Migrasi

Jumlah pengungsi selalu meningkat dua kali lipat setiap tahunnya.

AP Photo/Odelyn Joseph
Migran Haiti menunggu dalam antrean untuk check-in untuk penerbangan ke Chili, di Bandara Internasional Toussaint Louverture, di Port-au-Prince, Haiti, Minggu, 30 Januari 2022.
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi mengungkapkan, krisis pangan yang terjadi akibat konflik di Ukraina akan mendorong lebih banyak warga di negara-negara miskin meninggalkan rumah mereka. Hal itu dapat memicu gelombang migrasi global yang lebih tinggi.

Baca Juga


Menurut Grandi, laporan terbaru Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) yang dirilis Kamis (16/6/2022) mengungkapkan, terdapat sekitar 89,3 juta orang di seluruh dunia yang terpaksa mengungsi akibat penganiayaan, konflik, perlakuan kejam pada akhir 2021. Sejak pertempuran di Ukraina dimulai pada 24 Februari lalu, jumlahnya meningkat signifikan. Sebab jutaan warga di sana telah mengungsi ke luar negeri atau daerah perbatasan.

Grandi menilai, dengan melonjaknya harga pangan akibat konflik Ukraina, terutama gandum, hal itu bisa memicu lebih banyak gelombang perpindahan di tempat lain. “Jika Anda memiliki krisis pangan di atas semua yang telah saya gambarkan; perang, hak asasi manusia (HAM), iklim, itu hanya akan mempercepat tren yang saya jelaskan dalam laporan ini,” ucapnya, dikutip laman Global News.

Menurut dia, jika tidak segera ditangani, dampaknya akan cukup memukul. Grandi menjelaskan, di wilayah Sahel Afrika, sudah banyak orang yang melarikan diri atau mengungsi akibat kenaikan harga pangan plus pemberontakan kekerasan. “Ukraina seharusnya tidak membuat kita melupakan krisis lain,” kata Grandi.

Menurut laporan UNHCR, secara keseluruhan, jumlah pengungsi selalu meningkat setiap tahunnya selama satu dekade terakhir. Jumlah pengungsi saat ini sudah melampaui dua kali lipat angka pengungsi yang tercatat pada 2012. Berdasarkan data UNHCR, kala itu terdapat 42,7 juta pengungsi di dunia.  

 

Pekan lalu Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, dampak konflik Rusia-Ukraina bagi dunia bisa semakin memburuk. Menurutnya, 1,6 miliar orang di berbagai negara bakal menanggung imbas perang antara dua negara bekas Uni Soviet tersebut. “Dampak perang terhadap ketahanan pangan, energi, dan keuangan bersifat sistemik, parah, serta semakin cepat,” kata Guterres saat mempresentasikan laporan kedua tentang dampak konflik Rusia-Ukraina, 8 Juni lalu.

Dia mengkhawatirkan krisis yang bisa muncul sebagai konsekuensi perang Rusia-Ukraina. “Bagi orang-orang di seluruh dunia, perang mengancam untuk melepaskan gelombang kelaparan dan kemelaratan yang belum pernah terjadi sebelumnya, meninggalkan kekacauan sosial serta ekonomi di belakangnya,” ucapnya.

Guterres berpendapat, krisis pangan yang berlangsung saat ini terjadi akibat kurangnya akses. Namun tahun depan, hal itu bisa terjadi karena kekurangan pangan. “Hanya ada satu cara untuk menghentikan kumpulan badai ini: invasi Rusia ke Ukraina harus diakhiri,” ujarnya.

Ukraina dan Rusia adalah pemain besar dalam produksi pangan dunia. Menurut PBB, mereka mewakili 53 persen perdagangan global minyak bunga matahari dan biji-bijian, serta 27 persen gandum. Di Afrika, 25 negara mengimpor lebih dari sepertiga gandum mereka dari Ukraina dan Rusia.

Selain itu, Rusia dan Ukraina mengekspor 28 persen pupuk yang terbuat dari nitrogen dan fosfor, serta kalium. Konflik telah menghambat Ukraina melakukan pengiriman pasokan ke luar negeri. Sementara sanksi Barat telah mencegat Rusia mengekspor komoditas-komoditasnya. 

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler