Lunch-flation Desak Karyawan Korsel Potong Biaya Makan Siang
Harga makan siang di Korsel melonjak lebih dari 10 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pekerja kantor Park Mi-won tidak pernah membeli makan siang dari toko serba ada, sampai prasmanan makan siang favoritnya baru-baru ini menaikkan harga lebih dari 10 persen. Kenaikan harga ini akibat dari inflasi Korea Selatan melonjak ke rekor tinggi dalam 14 tahun.
"Setelah harga naik, saya pergi ke toko serba ada, di mana saya pikir harganya masuk akal sementara makanannya juga enak," kata pria berusia 62 tahun itu.
"Jadi sekarang saya pergi ke sana dua sampai tiga kali seminggu," ujarnya.
Menurut badan pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, harga pangan global melonjak 23 persen bulan lalu dari tahun sebelumnya. Perang Ukraina dan Rusia telah mempengaruhi pasokan biji-bijian dari kedua negara dan menyebabkan harga energi serta pupuk melonjak.
Menawarkan mie instan murah, sandwich, dan gimbap dengan harga di bawah lima dolar, toko serba ada semakin populer. Pekerja bergaji seperti Park mencari cara untuk memangkas biaya.
Jaringan toko serba ada Korea Selatan GS25 membukukan peningkatan lebih dari 30 persen dalam penjualan makanan instan pada Januari-Mei dibandingkan tahun lalu. Melihat permintaan yang terus meningkat, GS25 juga meluncurkan layanan baru berlangganan makan untuk pekerja kantoran yang hadir dengan potongan harga dan pengiriman langsung ke kantor.
Toko serba ada CU dan 7-Eleven pun telah melihat lonjakan permintaan yang serupa. Sementara Emart24 melihat lonjakan 50 persen dalam penjualan kotak makan siang di area dengan sejumlah besar blok kantor.
Kenaikan itu terjadi karena harga hidangan restoran di Korea Selatan naik 7,4 persen bulan lalu dibandingkan dengan tahun sebelumnya, laju tercepat dalam 24 tahun.
Kondisi kenaikan harga makan siang ini mendapatkan julukan lunch-flation. Menurut statistik pemerintah, harga hidangan favorit seperti galbitang atau daging sapi rebus dengan nasi melonjak 12,2 persen dan nengmyun atau mie dingin naik 8,1 persen.
Sementara makan siang di toko serba ada tidak kebal dari kenaikan biaya, harga keseluruhannya yang jauh lebih rendah telah membantu mendapatkan popularitas. Di sekitar ibu kota Seoul, menurut data Badan Konsumen Korea, harga rata-rata nengmyun baru-baru ini menembus di atas 10.000 won, sedangkan mie ramen instan masih tersedia sedikit di atas 1.000 won di toko serba ada.
Bank of Korea memperkirakan setiap kenaikan harga produk pertanian impor sebesar satu persen akan mendorong harga makanan olahan sebesar 0,36 persen pada tahun depan dan harga restoran sebesar 0,14 persen dalam tiga tahun ke depan. Beberapa operator mengatakan pengunjung harus mengharapkan kenaikan harga yang lebih besar.
"Faktanya, saya perlu menaikkan harga lebih tinggi lagi," kata Lee Sang-jae,yang menjalankan restoran galbitang di distrik pusat Seoul dan telah menaikkan harga dua kali tahun ini, menjadi 12.000 won dari 10.000 won.
"Sebaliknya, saya menyerahkan sebagian dari margin keuntungan saya, karena saya juga harus mempertimbangkan dompet ringan pekerja kantoran akhir-akhir ini," ujarnya.
Dalam survei yang dilakukan oleh perusahaan sumber daya manusia Incruit bulan lalu, 96 persen dari 1.004 pekerja kantoran mengatakan sekarang merasa harga makan siang membebani. Beberapa di antaranya hampir setengahnya mencari cara untuk memotong pengeluaran makan siang.
Tapi, waktu makan siang dianggap sakral di kalangan pekerja kantoran di Korea Selatan. Jam makan siang digunakan sebagai waktu berbaur dengan teman dan kolega lebih lama.
"Ini jauh lebih murah daripada pergi ke restoran, tapi kekurangannya adalah kita tidak bisa makan siang sama sekali di sini," kata Ku Dong-hyun yang sedang makan mie ramen dan gimbap dari GS25 untuk makan siangnya.
Banyak restoran kecil masih mendapat manfaat dari bangkitnya kembali budaya makan malam setelah berbulan-bulan aturan jarak sosial yang disebabkan oleh Covid-19. Namun, para ekonom memperingatkan tekanan yang berkepanjangan pada harga konsumen akan membebani konsumsi.
"Daya beli riil menyusut di tengah tekanan inflasi yang kuat, tetapi orang tidak ingin mengurangi pertemuan malam yang baru mereka mulai, sementara pada makan siang mereka bisa," kata kepala ekonom di Meritz Securities Lee Seung-hoon.