Tantangan Muslim Swiss, dari Soal Masjid Hingga Produk Halal
Segala tantangan itu pada faktanya tidak menjadi halangan bagi terwujudnya harmoni.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan latar demikian, seorang Muslim yang tinggal di Swiss memiliki tantangan tersendiri. Di negara yang berhawa sejuk itu, terdapat 260 masjid dan ruangan shalat. Jumlah itu menjadikan Swiss sebagai salah satu negara dengan rasio masjid-Muslim tertinggi di seluruh Eropa.
Yakni, satu masjid untuk 4.000 orang Islam. Sebelum tahun 1980, hanya ada dua masjid di negara tersebut, yaitu Masjid Mahmud di Zurich dan Masjid Geneva. Yang pertama dibangun komunitas Ahmadiyah, sedangkan yang lain oleh Liga Muslim Dunia.
Untuk mendapatkan makanan dan minuman halal pun membutuhkan sebuah upaya yang tidak mudah bila dibandingkan kehidupan di negeri-negeri mayoritas Islam. Bukan cuma persoalan akses terhadap daging berlabel halal.
Sekalipun memiliki peternakan, katakanlah, seorang warga Swiss yang Muslim terganjal aturan yang meng haruskan adanya anestesi terhadap hewan sebelum disembelih. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang memilih alternatif, yakni membeli daging yang dipotong sesuai syariat Islam di negara-negara lain.
Segala tantangan itu pada faktanya tidak menjadi halangan bagi terwujudnya harmoni. Terlebih lagi, banyak orang Islam di negara konfederasi itu yang menjadi bagian dari kemajuan Swiss dalam pelba gai bidang kehidupan. Sebuah survei yang diadakan Bertelsmann Foundation, sebagaimana dikutip dari Suara Muhamma diyah, menunjukkan adanya tren positif di sana.
Hal itu berkenaan dengan integrasi komunitas Muslim dengan masyarakat Swiss secara keseluruhan. Lembaga asal Jerman itu membandingkan keadaan umat Islam di lima negara maju Benua Eropa. Di samping Swiss, ada Jerman, Prancis, Austria, dan Inggris. Variabel yang diamati adalah kemampuan bahasa, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi sosial mereka di negara-negara tersebut.
Berdasarkan jajak pendapat, ternyata sebesar 98 persen Muslim Swiss merasa punya ikatan dengan negara tersebut. Ini kemudian berdampak positif pada pekerjaan. Umumnya mereka merasa dapat bermata pencaharian dengan baik di sana.Pihak pemberi kerja pun tidak menunjukkan gelagat diskriminasi terhadap mereka.
Yang tak kalah pentingnya, baik umat Islam Swiss maupun warga setempat pada umumnya bisa saling menerima kehadiran masing-masing. Ini merupakan modal so sial yang amat baik dalam merawat kerukunan.
Dan, tidak sedikit tokoh masyarakat (public figures) Swiss yang merupakan Muslim atau setidaknya bersimpati terha dap ajaran Islam dalam karier profesio nal mereka. Di antaranya adalah filsuf Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, penjelajah Isabelle Eberhardt, dan pesepakbola Xherdan Shaqiri.