Penjelasan Syariat dan Sains Ketua Falakiyyah NU Soal Perbedaan Idul Adha

9 Dzulhijjah tidak mutlak sama dengan hari pelaksanaan wukuf di Arafah.

ANTARA/Fikri Yusuf
Petugas mengamati posisi hilal menggunakan teropong saat pelaksanaan Rukyatul Hilal di Pantai Jerman, Kuta, Badung, Bali, Rabu (29/6/2022). Penjelasan Syariat dan Sains Ketua Falakiyyah NU Soal Perbedaan Idul Adha
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Falakiyyah PBNU KH Sirril Wafa menjelaskan ihwal syariat hingga sains tentang perbedaan penetapan Idul Adha antara Indonesia dengan Saudi. 

Baca Juga


"Secara syar'i, awal hari dimulai dari saat ghurub (terbenam) matahari hingga ghurub berikutnya. Jarak antara kedua negara cukup jauh, secara geopolitik juga beda, karena tidak dalam satu kawasan. Ini meniscayakan adanya perbedaan dalam memulai hari," kata Kiai Sirril saat dihubungi Republika, Senin (4/7) dini hari. 

Di lain pihak, ketampakan posisi bulan/hilal yang menandai masuknya awal bulan bisa berbeda. Pada kasus awal penetapan Dzulhijjah tahun ini, di Arab Saudi posisi hilal baik tinggi maupun elongasinya dinilai sudah memungkinkan untuk dapat dirukyat.

Sementara di Indonesia sudah diambil sikap dengan penerapan kriteria baru (Neo MABIMS dengan tinggi hilal minimal 3 derajat dengan elongasi minimal 6,4 derajat) dan di seluruh Indonesia belum mencapai kriteria. Dengan diperkuat laporan hasil rukyat yang nihil, maka dengan penjelasan tersebut antara kedua negara suatu saat bisa menjadi bersamaan dalam mengawali bulan. Karena itu, penetapan Idul Adha saat ini berbeda antara kedua negara. 

Kiai Sirril menekankan hari Arafah adalah hari/tanggal 9 Dzulhijjah. Hari tersebut tidak mutlak sama dengan hari pelaksanaan wukuf di Arafah, kecuali jika di Arab Saudi sendiri.  

"Jadi, kalau di Indonesia tanggal 9 Dzulhijjah itu Sabtu, hari itu namanya hari Arafah yang disunnahkan puasa, meskipun pada saat yang sama di Saudi sudah Idul Adha dan haram berpuasa karena di sana sudah tanggal 10 Dzulhijjah," ujarnya. 

Dia menerangkan dalam hal ini diperlukan pemahaman yang lurus agar masyarakat Muslim tidak terombang-ambing dengan adanya perbedaan penetapan Idul Adha antara Indonesia dengan Arab Saudi. Jika ada yang mempunyai pemahaman bahwa hari Arafah harus sama dengan Saudi, kata dia, maka itu pilihan orang yang bersangkutan.

Namun, di lingkungan NU dan banyak ormas lain tidak sependapat dengan pemahaman seperti itu. Dia mengatakan hari Arafah adalah sekadar penamaan hari untuk tanggal 9 Dzulhijjah yang disunnahkan puasa menurut penanggalan masing-masing negara. 

"Jadi tidak mutlak bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Padang Arafah. Dalam sejarah, umat Islam tetap laksanakan puasa Arafah meskipun di Saudi tidak selenggarakan ibadah haji (tidak ada peristiwa wukuf di dalamnya) karena situasi perang. Perbedaan ini layaknya seperti beda waktu sholat antara dua lokasi," ujarnya. 

Sebagaimana diketahui, konsep penanggalan Syamsiyah (pethitungan berbasis matahari) yakni wilayah sebelah timur lebih dahulu dari sebelah baratnya. Seperti waktu-waktu sholat yang ditandai dengan matahari pada posisi-posisi/titik tertentu di langit. Maka untuk waktu sholat, Indonesia mendahului Arab Saudi. 

Sedangkan untuk awal bulan Syar'iyyah, dalam Islam menggunakan kalender Qomariyah (perhitungan berbasis peredaran bulan). Awal bulan ditandai dengan terlihatnya sabit bulan/hilal di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam. Karenanya, wilayah sebelah barat memungkinkan mengawali bulan lebih dulu ketimbang wilayah timur. 

Mengingat saat Maghrib posisi hilal di wilayah yang lebih barat--pada umumnya--sudah lebih tinggi dari wilayah di sebelah timurnya. Makkah dan Indonesia dari segi jarak, beda empat jam. Maka, jika di Makkah pukul 12.00, di Indonesia sudah sekitar pukul 16.00 dengan basis perhitungan Syamsiyah.

Untuk awal bulan, jika antara Makkah dan Indonesia terjadi perbedaan, seperti kasus awal Dzulhijjah 1443 Hijriyah ini, maka bedanya bukan hanya empat jam, melainkan 20 jam lebih dahulu Makkah. Mengingat perhitungannya menggunakan basis Qomariyah/peredaran bulan kelilingi Bumi.

Sehingga contoh aturan menghitungnya, Makkah tetapkan awal Dzulhijjah mulai sejak setelah maghrib hari Kamis 30 Juni 2022. Sejak saat itu, ke arah barat hingga 20 jam kemudian, saat di mana Maghrib di Indonesia sudah hari Jumat, 1 Juli, barulah masuk 1 Dzulhijjah.

Sebab saat Rabu sore lepas maghrib, hilal belum tampak di Indonesia. Lain dengan wilayah Arab (Makkah) yang saat itu hilal sudah dapat terlihat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler