Mengenal Kiprah Katsuko Saruhashi, Ilmuwan Perempuan yang Dijuluki Pengamat Hujan

Saruhashi mengamati kandungan karbondioksida di udara.

wikipedia
Katsuko Saruhashi
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Setyanavidita Livikacansera Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak penemuan teknologi pada masa lalu yang menjadi inspirasi dari inovasi modern. Kiprah para perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sudah di mulai sejak lama.

Baca Juga


Di dunia teknologi, banyak perempuan yang telah mendedikasikan pemikirannya, temuannya, dan ilmu pengetahuannya untuk memberi manfaat bagi sesama. Dikutip dari We are Tech Woman, beberapa perempuan yang telah membuat perubahan melalui kontribusinya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satunya adalah Katsuko Saruhashi. Katsuko Saruhashi menjadi terkenal pada 1950- an ketika ia menyimpulkan bahwa karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan manusia dan industri besar mampu membunuh kehidupan laut. Saruhashi membawa fakta tersebut ke perhatian dunia, kemudian mempersenjatai para ilmuwan dengan sistem untuk mengukur kandungan CO2.

Tabel Saruhashi pun hingga saat ini masih digunakan. Pada 1960-an, dia mengalihkan perhatiannya ke limbah nuklir. Saat itu, AS memang tengah menguji senjata nuklir di pulau-pulau berjarak sekitar 4.500 kilometer dari Jepang.

Saruhashi menemukan, dalam waktu 18 bulan, air radioaktif telah muncul di bibir pantai Jepang. Penelitiannya ini, kemudian membantu memperketat hukum laut yang mengatur ketat kegiatan eksperimen nuklir.

Lahir di Tokyo, 22 Maret 1920, Saruhashi yang mendapat julukan "pengamat hujan" ini awalnya memang dikenal sering melamun sambil mengamati lamat-lamat rintikan hujan yang turun dari balik jendela kelas. Dalam hati ia bertanya, apa yang membuat hujan turun?

Dari pertanyaan sederhana itulah ia kemudian meraih gelar doktor di bidang kimia dari University of Tokyo pada 1957. Ia lulus dari Imperial Women's College of Science yang dulunya bernama Toho University pada 1943.

Melakukan penelitian seperti yang dilakukan Saruhashi jelas bukanlah tugas yang mudah. "Jumlah dampak yang kita bicarakan sangat kecil, dan kemudian kita berbicara tentang lautan yang luas," ujar Toshihiro Higuchi, seorang sejarawan di Universitas Georgetown dan pakar ilmu Perang Dingin, dikutip dari the Verge.

Menurut Higuchi, Saruhashi saat itu ditugasi untuk mengembangkan pengukuran yang lebih sensitif. Ia dan timnya akhirnya menemukan bahwa dampak nuklir tidak menyebar secara merata ke seluruh lautan.

Mereka pun melacak pola sirkulasi laut menggunakan radionuklida, kemudian menemukan bahwa arus mendorong perairan yang terkontaminasi radiasi searah jarum jam.

Mulai dari Bikini Atol di barat laut menuju Jepang. Akibatnya, tingkat kejatuhan dari bahan-bahan kimia ini jauh lebih tinggi di Jepang daripada di sepanjang AS bagian barat.

Saruhashi kemudian meninggal pada 29 September 2007. Kontribusinya di dunia geokimia menjadi bukti bahwa perempuan pun bisa berbicara banyak di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang didominasi kaum adam. "Banyak wanita yang memiliki kemampuan menjadi ilmuwan hebat. Aku ingin melihat suatu hari nanti ketika wanita bisa berkontribusi untuk ilmu pengetahuan dan teknologi, sama halnya dengan yang digeluti para lelaki," ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler