Membaca Ulang, Kenapa Santri Mudah Jadi Korban Kejahatan Seksual

Membaca Ulang, Kenapa Santri Mudah Jadi Korban Kejahatan Seksual

Membaca Ulang, Kenapa Santri Mudah Jadi Korban Kejahatan Seksual
Rep: jatimnow.com Red: jatimnow.com

jatimnow.com - Kita miris dengan kesaksian korban kejahatan seksual pada anak. Harus menahan diri, menunggu menjadi alumni, baru bisa mengungkap kasus trauma berat dari kisah kelam yang dialaminya. Bayangkan hidup menjadi korban, menjadi pesakitan dan bayang-bayang takut tidak lulus

.Sendirian berteriak minta tolong di kandang harimau. Membayangkan situasi korban kekerasan, kejahatan seksual dan pencabulan baik predator dan fedofilia belakangan yang berada di bawah penguasaan pemiliknya. Dari sekolah sekolah berasrama. Seperti SPI dan beberapa pesantren.


Menurut Gus Menteri angka kekerasan seksual di sekolah berasrama atau pesantren fenomena bak puncak gunung es, di bawahnya kelihatan sedikit, tetapi di puncaknya luar biasa. Menurut Prof Azyumardi Azra ada 30 ribu pesantren. Dan pesantren memiliki pemimpin kharismatik. Sehingga menyebabkan pengawasan tidak mudah

Hari ini kita dipertontonkan pesakitan dari para korban kekerasan, kejahatan, pencabulan seksual. Karena sulitnya mengungkap kejahatan yang dilakukan tangan tangan besi dengan penguasaan penuh atas korban.

Bayangkan sejak mereka menolak perlakuan, percaya tidak percaya, mereka harus berani melawan, ketakutan, ancaman, trauma, yang harus dialaminya sekian lama. Kemudian bersaksi berulang-ulang hanya untuk mendapatkan pengakuan, sampai mengorbankan dirinya speak up ke publik. Perjuangan yang sangat panjang, menguras energi dan batin.

Mereka berasal dari anak anak yang membutuhkan perlindungan khusus akibat latar belakang terlepas dari orang tua. Dan harus percaya dengan figur barunya, dan bertahan untuk masa depan didalam sebuh lembaga.

Sekarang pelakunya baru tertangkap, mungkin luka sayatan perih batin itu sedikit terobati, mereka masih mencari keadilan atas pesakitan yang mereka alami saat ini yang bisa tiba tiba menggelayut menghampiri lagi. Mampukah rasa keadilan dihadirkan untuk pada korban ini, bukankan perasaan selama ini, harus terwakili dengan hukuman yang akan di jatuhkan para hakim, dengan pembunuhan karaktek bertahun tahun pada korbannya.

Mudah-mudahan proses panjang ini, menyebabkan para pelakunya diberi hukuman berlapis dan pemberatan dengan siksaan batin yang selama ini mereka jalani. Semoga putusan hakim nanti dapat mengganti masa kelam bertahun tahun itu, yang berganti menjadi penuh harapan dan masa depan.

Ada yang pelakunya yang memiliki relasi kuasa yang luar biasa, mereka adalah pimpinan, ada pimpinan legislatif, tokoh publik, pimpinan lembaga pendidikan, orang yang sangat berpengaruh Dimana segala akses bisa ditembus untuk menutupi kejahatannya, dan menempatkan korban menjadi pesakitan di mata publik. Karena perlu upaya luar biasa untuk menyentuh para pelaku. Dan korban yang harus bersaksi berulang ulang, bahkan bertahun tahun. Padahal mengungkap itu membawa trauma dan dapat mengancam.

Sebenarnya fenomena kekerasan seksual ini, merupakan fenomena data yang masuk ke KPAI, dimana kekerasan didalam keluarga dan pemgasuhan alternatif menjadi angka tertinggi. Dengan angka 2.281. Dimana angka kejahatan seksual 859 kasus yang teradukan. Di Jawa Timur Januari sampai Mei ada kekerasan terhadap anak 319 kasus.

Kita sering lupa bahwa pendidikan berbasis asrama seperti pesantren dan lain yang serupa, sebenarnya menjalankan fungsi pengasuhan alternatif. Makanya di Konvensi Hak Anak kluster IV kita bicara secara bersamaan antara pendidikan, waktu luang dan budaya. Memang ada problem besar, ketika anak lepas dari pengawasan orang terdekatnya. Seperti masalah waktu luang di pesantren setelah melalui pendidikan formal, yang dimanfaatkan oknum seperti predator seksual.

Data kekerasan seksual selalu saja dilakukan orang terdekat, begitu juga yang terjadi di Pesantren. Yang juga seringkali rasio pengasuh dan peserta didik tidak sebanding. Anak anak yang jauh dari pengawasan orang tua ini, ketika berada di tangan yang salah dan percaya begitu saja, sering mendapat perlakukan salah, sampai akhirnya menjadi korban kejahatan seksual.

Tentu saja melepas anak untuk pendidikan berasrama adalah sebuah niat yang sangat baik, apalagi memasukkan ke pesantren. Tapi niat baik ini tidak cukup, karena kita sekarang ‘tidak cukup dengan niat baik’ dengan dunia sedang perang dengan paparan pornografi, narkoba, perang ideologi. Artinya pesantren dan sekolah berasrama tidak bisa hanya memenuhi kebutuhan niat baik untuk pendidikan.

Untuk itu belum lama KPAI bertemu dengan Menteri Agama untuk menjawab fenomena angka besar kekeraaan seksual yang disampaikan Gus Menteri bagai fenomena puncak gunung es, yang fenomena nya kita saksikan hari ini. Selain itu KPAI memberi masukan tentang pentingnya mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lembaga keagamaan.

Peristiwa di Jombang dengan teribat ratusan orang melawan hukum. Tentunya ini menjadi keprihatinan besar buat sekolah berasrama dan pesantren, untuk membongkar kesadaran anak anak didik nya tentang kekerasan seksual.

Bagaimana mengembalikan kepercayaan ke pesantren? Tentu saja perlu upaya lebih dari Menteri Agama, terutama dalam memayungi aturan pesantren yang ada di Indonesia. KPAI menitipkan pentingnya dunia pesantren membangun gugus tugas penanganan, mekanisme referal yang terbuka, safe child guarding 'bagaimana bekerja dengan anak" Sehingga pesantren benar benar siap kembali menerima santri jelang tahun ajaran baru ini. Tentunya ini kerja besar yang harus didukung semua.

Peran para Ibu Nyai juga menjadi sentral, agar menguatkan peran peran perempuan pimpinan pesantren, dan sekaligus istri para pimpinan pesantren. Termasuk wadah organisasi pesantren se Indonesia untuk aktif mengawal pengawasan pesantren dalam memiliki mekanisme penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.

Sebenarnya untuk kasus di Jombang, KPAI sudah melaksanakan Evaluasi Kota Layak Anak bersama KemenPPPA di Jombang. Saat itu di 2021 kita mendapatkan laporan kasus Jombang oleh kepolisian. Dan tentunya kita apresiasi atas kerja keras kepolisian sampai saat ini, dalam memburu pelaku.

Saya kira sejarah penegakan hukum kekerasan dan kejahatan seksual di negara kita terus progressif, baik di KUHP maupun di RKUHP yang terus berproses, termasuk UU 35 2014 tentang Perlindungan Anak, UU 17 2016 tentang Pemberatan Hukuman untuk pelaku kejahatan seksual pada anak dan terakhir UU TPKS. Bahwa pemberatan hukuman bagi pelaku berada di ruang yang hidup, seperti contoh yang terjadi pada HW.

Kita berharap dengan pencabutan izin operasional pesantren dan pindahnya para santri, tidak menjadi tertutup, bila ada korban korban yang lain. Karena kita tahu peristiwa ini dibawah kekuasaan pelaku, yang dari 2019 sampai sekarang baru bisa tertangkap. Artinya tidak tertutup korban korban yang lain masih ada.

Bicara pengawasan terhadap lembaga lembaga yang dititipkan anak anak, dalam evaluasi Kota Layak Anak, kita juga masih menghadapi belum efektif berjalannya pembagian tugas dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah. Yang mengamanatkan daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan lembaga lembaga yang dititipkan anak anak. Dalam pengawasan KPAI masih perlunya penguatan komitmen daerah dalam kebijakan dan menganggarkan, agar anak anak ini terjangkau oleh kebijakan, sejak dari daerah, sebelum mereka dititipkan dalam lembaga lembaga.

Penulis: Jasra Putra (Kadivwasmonev KPAI)

Lihat Artikel Asli
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan jatimnow.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab jatimnow.com.
Berita Terpopuler