Ketidaksusuaian LSD dengan RTRW Jadi Kendala Percepatan Investasi di Daerah
Jika sebelumnya kendala investasi terletak pada Perda RTRW, kini kendala lain muncul
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG—Kebijakan daerah untuk mendorong masuknya investasi bagi kepentingan perekonomian acapkali masih ‘berbenturan’ dengan berbagai ketentuan maupun peraturan antar lembaga. Tak jarang, hal ini menjadi penghambat dalam mewujudkan kebijakan daerah.
Sehingga butuh penyesuaian dan sinkronisasi kebijakan yang disiapkan daerah mampu mewadahi berbagai kepentingan yang masih ‘bertentangan’. Hal ini terungkap dalam Rapat Koordinasi Satgas Percepatan Pelaksanaan Berusaha, yang dilaksanakan di kantor Gubernur Jawa Tengah, Senin (11/7).
Salah satunya adalah Kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/ BPN) terkait dengan Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD).
Bagi pemangku kebijakan di bidang perizinan, hal menjadi kendala bagi kabupaten/ kota di Jawa Tengah guna merealisasikan masuknya investasi di daerahnya. Permasalahannya ada ketidaksesuaian antara peta LSD dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang sudah ditetapkan pemerintah daerah.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah, Ratna Kawuri mengungkapkan, jika sebelumnya percepatan investasi terbentur pada persoalan kesediaan Perda RTRW yang belum siap, saat ini kendala yang lain juga muncul.
Ternyata soal LSD juga harus disikapi besama- sama. “Berdasarkan laporan teman- teman di daerah, persoalan LSD ini menjadi salah satu kendala untuk merealisasikan target investasi yang diberikan pemerintah pusat kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 65,54 triliun,” jelasnya.
Perihal ini pun mendapatkan tanggapan dari Kantor Wilayah Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) Provinsi Jawa Tengah, yang dalam forum ini diwakili oleh Siti Aisyah.
Menurutnya, apabila yang ‘dipotret’ dalam LSD tidak sesuai dengan RTRW yang sudah ditetapkan pemerintah daerah, maka Forum Penataan Ruang (FPR) bisa menyampaikan kepada Kanwil ATR/ BPN.
Sehingga dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, lahan sawah yang terpotret di LSD bisa saja ‘dikeluarkan’. “Maka peran FPR inilah yang mestinya menjadi ‘komando’ di daerah dalam menindaklanjuti ketidaksesuaian tersebut,” jelasnya.
Menanggapi problem ini, Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen menyimpulkan, butuh koordinasi yang lebih intens antara tim percepatan pelaksanaan berusaha dengan Kementerian ATR/ BPN maupun kementerian lembaga lain yang terkait.
Sebab, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terkadang tidak mengetahui persoalan yang ada di kabupaten/ kota. “Padahal, sebenarnya persoalan yang dihadapi hampir sama atau bahkan juga sama,” ungkapnya.
Apabila Pemprov Jawa Tengah mengetahui persoalannya, tentu bakal ada praktk- praktik terbaik dalam upaya menyelesaikannya. Misalnya dalam persoalan LSD ini masih ada kebijakan yang perlu disinkronkan.
“Jadi tolong, kalau ada permasalahan yang belum bisa diselesaikan di daerah dengan kementerian, atau mungkin terlalu lama, sampaikan kepada kami. Sehingga, kami bisa mengkoordinasikan dengan kementerian,” jelas wagub.