Fatamorgana Anggaran Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan merupakan jantung pendidikan.
Oleh: Romi Febriyanto Saputro*
Perpustakaan merupakan jantung pendidikan. Kehadiran perpustakaan sekolah memberikan ruang untuk merdeka belajar para siswa. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diharapkan dapat mendukung pengembangan perpustakaan sekolah sebagai upaya peningkatan literasi.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang bertema Kemanfaatan Dana BOS untuk Perpustakaan Sekolah/Madrasah, yang diselenggarakan secara daring pada tanggal 18 Februari 2022, Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI Muhammad Syarif Bando menyampaikan, perlu adanya perubahan dalam metode pembelajaran di Indonesia. Melalui kebijakan merdeka belajar, para anak didik dituntut untuk menambah pengetahuannya dengan membaca dan meningkatkan literasi melalui perpustakaan. Tantangannya adalah memastikan bahwa kemampuan daya serap anak jauh lebih tinggi dibandingkan informasi yang mereka terima.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini, Bantuan Operasional Sekolah, Dan Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan menyebutkan bahwa dana BOS digunakan untuk membiayai operasional penyelenggaraan pendidikan Satuan Pendidikan sesuai dengan komponen penggunaan dana BOS.
Komponen penggunaan dana BOS Reguler meliputi penerimaan peserta didik baru, pengembangan perpustakaan, pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler, pelaksanaan kegiatan asesmen dan evaluasi pembelajaran, pelaksanaan administrasi kegiatan sekolah, pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan, pembiayaan langganan daya dan jasa, pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah, penyediaan alat multimedia pembelajaran, penyelenggaraan kegiatan peningkatan kompetensi keahlian, penyelenggaraan kegiatan dalam mendukung keterserapan lulusan; dan/atau pembayaran honor.
Pengembangan perpustakaan digunakan meliputi pertama, pembiayaan untuk penyediaan buku teks utama termasuk buku digital dengan ketentuan buku yang dibeli merupakan buku yang telah dinilai dan ditetapkan oleh Kementerian, memenuhi rasio 1 (satu) buku untuk setiap peserta didik pada setiap tema/mata pelajaran, memenuhi kebutuhan buku untuk guru pada setiap tema/mata pelajaran yang diajarkan dan buku yang dibeli oleh sekolah harus dijadikan pegangan dalam proses pembelajaran di sekolah.
Kedua, penyediaan buku teks pendamping termasuk buku digital yang telah dinilai dan ditetapkan oleh Kementerian. Ketiga, penyediaan buku non teks termasuk buku digital dengan ketentuan sekolah dapat membeli atau menyediakan buku untuk mendukung proses pembelajaran di sekolah, diutamakan untuk menunjang penguatan pendidikan karakter dan pengembangan literasi sekolah; dan buku yang dibeli sekolah adalah buku yang telah dinilai dan ditetapkan oleh Kementerian atau Pemerintah Daerah. Keempat, penyediaan atau pencetakan modul dan perangkat ajar dan atau pembiayaan lain yang relevan dalam rangka pengembangan perpustakaan.
Menurut peraturan menteri ini, pengadaan buku teks utama atau lebih dikenal dengan istilah buku pelajaran/paket menjadi bagian dari pengembangan perpustakaan. Hal ini semakin menguatkan tradisi tidak sehat di dunia pendidikan negeri ini yang memiliki hobi mengganti buku pelajaran untuk menyesuaikan hobi pemerintah yaitu mengganti kurikulum untuk disesuaikan dengan “perkembangan zaman”.
Dampaknya, mudah ditebak peserta didik akan malas mengunjungi perpustakaan sekolah yang delapan puluh persen rak-rak yang ada hanya terisi dengan buku teks. Buku-buku non-teks pelajaran hanya menjadi golongan minoritas yang membuat wajah perpustakaan sekolah semakin jauh dari kata menyenangkan hati peserta didik. Fungsi rekreasi dari sebuah perpustakaan semakin tidak jelas dan hilang dari pandangan mata.
Ironisnya, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan juga menyebutkan bahwa perpustakaan sekolah wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan pendidik. Perpustakaan sekolah juga wajib mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan. Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5 persen dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.
Narasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Undang-undang Perpustakaan ini menyebabkan anggaran perpustakaan sekolah seperti fatamorgana di tengah padang pasir. Anggaran perpustakaan sekolah terlihat besar bahkan mungkin di atas 5 persen dari anggaran belanja operasional sekolah karena anggaran pembelian buku teks/paket pelajaran dan penyediaan atau pencetakan modul dan perangkat ajar termasuk dalam anggaran pengembangan perpustakaan. Penampakan kuantitas ternyata lebih disukai daripada penampakan kualitas.
Narasi yang berbeda datang dari Lembaga Akreditasi Akreditasi Perpustakaan Nasional RI yang tidak mengikutsertakan jumlah buku teks dalam penghitungan jumlah koleksi tercetak dari suatu perpustakaan sekolah. Instrumen Akreditasi Perpustakaan SMA sederajat misalnya, menyebutkan bahwa jumlah koleksi perpustakaan minimal 2.500 judul untuk memperoleh nilai A. Untuk memperoleh nilai B minimal harus memiliki koleksi sebanyak 2.000 judul sampai dengan 2.499 judul. Untuk memperoleh nilai C minimal harus memiliki koleksi sebanyak 1.500 judul sampai dengan 1.999 judul. Dibawah angka 1.500 judul dinyatakan belum terakreditasi.
Sinkronisasi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Perpustakaan Nasional RI mutlak diperlukan untuk memajukan perpustakaan sekolah agar menjadi jantung pendidikan yang mengusung jargon merdeka belajar. Agar slogan merdeka belajar di perpustakaan dapat terwujud dengan dukungan koleksi yang beragam judul. Langkah awalnya adalah memisahkan anggaran pengadaan buku teks/paket pelajaran dari anggaran pengembangan perpustakaan.
*Pustakawan pada Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen