3 Pesan Agung yang Terdapat dalam Haji
IHRAM.CO.ID, JAKARTA- Pelaksanaan haji 1443 Hijriyah/2022 M telah usai. Sebagian jamaah haji Indonesia tertutama, sudah berangsung pulang ke Tanah Air dan sebagiannya masih berada di Arab Saudi baik di Makkah atau Madinah.
Haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi Muslim yang telah memenuhi syarat, semisal kemampuan (istithaah). Saat berhaji, jamaah wajib mengenakan ihram, setidaknya sejak dari miqat, kemudian mabit atau bermalam di Muzdalifah dan Mina, melontar jamrah, serta tawaf wada.
Penghambaan
Jamaah haji sering kali disebut sebagai tamu Allah SWT sebab, yang dapat berziarah ke Baitullah, Masjidil Haram, hanyalah orang-orang yang telah disanggupkan oleh-Nya.
Bisa jadi seseorang kaya raya, tetapi tidak tebersit keinginan darinya untuk melaksanakan rukun Islam kelima. Sebaliknya, ada cukup banyak kejadian ketika seorang miskin mendapatkan kesempatan untuk berhaji.
Kalimat talbiyah, Labaikallah humma labaik, sesungguhnya melambangkan kesediaan untuk memenuhi panggilan Allah. Dengan menjadi tamu-Nya, seseorang sedang mengakui dirinya sebagai hamba. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.
Rasa persaudaraan
Salah satu hikmah haji adalah memperkuat rasa persaudaraan Muslimin dari seluruh dunia. Di Tanah Suci, semua jamaah diwajibkan untuk mengenakan busana ihram. Tidak tampak lagi perbedaan yang berdasarkan kesan-kesan kemewahan. Setiap orang Islam di sana terlihat sama.
Maka dari itu, yang timbul kemudian adalah rasa persaudaraan. Kuatnya ukhuwah Islamiyah terbangun dengan ibadah haji. Bahkan, pada masa kolonialisme dahulu, jamaah haji merupakan pembawa pesan semangat kemerdekaan ke negeri masingmasing.
Kesabaran
Haji adalah ibadah yang menuntut kesiapan, fisik maupun psikis. Karena itu, salah satu aspek istithaah adalah kemampuan jasmani dan rohani. Tidak cukup dengan kesanggupan untuk memenuhi segala biaya perjalanan pergipulang. Nyaris seluruh prosesi haji memerlukan kesabaran.
Acara-acara ritual, semisal tawaf, sai, atau wukuf, akan terasa berat bila tidak diiringi ketabahan. Teladan itu pula yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dua orang mulia yang menegakkan Baitullah.