Citayam Fashion Week dan Etika Bisnis
Citayam Fashion Week dan Etika Bisnis
Citayam fashion week created by the poor and stolen by the rich
Kutipan ini viral beberapa hari terakhir seiring dengan meningkatnya popularitas Citayam Fashion Week (CFW) dalam beberapa pekan terakhir. Kenaikan popularitas CFW memiliki konsekuensi “panggung” mereka dikuasai oleh orang-orang kaya. Banyak yang penasaran, ingin tahu dan ingin mencoba ber”cat walk” di area stasiun Dukuh Atas yang sebelumnya dijadikan tempat nongkrong anak-anak kampung dari Citayam, Bojonggede dan Depok. Bahkan para selebriti, politisi, influencer, foto model dan peragawati profesional pun ikut ambil bagian berlenggak-lenggok di jalanan.
Puncaknya adalah ketika nama Citayam Fashion Week didaftarkan oleh Baim Wong dan Indigo Adityo Nugroho ke Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham. Pendaftaran merek Citayam Fashion Week tersebut tentu membuat heboh jagad maya karena diluar dugaan semua pihak. Kedua orang tersebut bukan inisiator, bukan pelaku dan tidak memberikan kontribusi terhadap Citayam Fashion Week. Padahal CFW adalah gerakan anak muda akar rumput yang tidak memiliki sarana berekpresi apalagi ketika pandemi membatasi.
CFW bisa dikatakan gerakan spontanitas yang tidak terstruktur dan jauh dari kepentingan bisnis apalagi politis. Sementara pendaftaran merek CFW tentu bertujuan untuk mencari cuan. Apalagi yang mendaftarkan mereknya “orang kaya” yang sudah punya banyak usaha. Ada pertanyaan menarik yang mengemuka, apakah yang mereka lakukan ini etis secara bisnis? Apakah mereka termasuk mendompleng ketenaran dan memanfaatkan popularitas CFW untuk kepentingan bisnis mereka sendiri?
Dalam setiap aktifitas kehidupan pasti ada aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Begitu juga di dunia bisnis. Aturan bisa berupa hukum tertulis yang wajib diikuti dan ada juga aturan yang tidak selalu tertulis yaitu etika. Tanpa etika dalam berbisnis, persaingan antar perusahaan dapat menjadi tidak sehat, konsumen rugi, terjadi ekloitasi alam yang berlebihan dan monopoli perdagangan serta praktek bisnis tidak fair lainnya.
Menurut Bertens (2000) etika bisnis lebih luas daripada ketentuan yang diatur oleh undang-undang. Bahkan etika bisnis merupakan standar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar minimum ketentuan hukum karena dalam kegiatan bisnis kita sering kali menemukan grey area yang tidak diatur oleh ketentuan hukum. Kasus pendaftaran merek CFW ini secara hukum tidak salah karena siapapun boleh mendaftarkan merek selama belum ada orang lain yang mendaftarkannya. Hanya saja ada ruang abu-abu di sini yaitu si pendaftar bukan inisiator dan pelaku CFW. Meskipun secara hukum CFW tidak memiliki akta pendirian sebagaimana layaknya perusahaan atau organisasi berbadan hukum lainnya.
Banyak celah dari sisi hukum yang dapat meloloskan si pendaftar dari jerat hukum. Sulit mencari pasal yang dapat dikenakan kepada mereka jika ada yang ingin menuntut ke meja hijau. Permasalahan ini memang lebih terkait ke etika bisnis. Apakah perbuatan mereka mendaftarkan merek CFW ini pantas atau tidak? Baik atau tidak secara moral dan hati nurani?
Tentu saja kepantasan dan baik tidaknya perbuatan sangat tergantung dari budaya, adat istiadat, norma dan kebiasaan masyarakat. Bisa jadi sesuatu yang pantas di dunia barat menjadi tidak pantas di dunia timur seperti Indonesia. Masyarakat dapat menilai sendiri apa yang dilakukan kedua pendaftar ini telah mendapat banyak sentimen negatif. Mereka menilai hal ini tidak pantas dan tidak baik untuk dilakukan.
Penerapan etika sangat penting dalam dunia bisnis. Perusahaan yang dikelola dengan mengedepankan etika akan memiliki citra yang baik di mata konsumen dan begitu juga sebaliknya. Jangan hanya karena nafsu dan keserakahan membuat citra positif bisnis yang telah dibangun sedikit demi sedikit runtuh karena hilangnya kepercayaan dari konsumen. Ingat, konsumen itu raja dan sekarang mereka punya senjata mematikan yaitu media sosial. Senjata ini bisa membunuh bisnis secara perlahan.