RI Ajukan Pengaturan Kapal Selam Bertenaga Nuklir di PBB

Geografis RI menambah kerentanan atas potensi risiko program kapal selam nuklir.

AP/Huizhong Wu
Kapal selam (ilustrasi). Indonesia siap mengusulkan pengaturan program kapal selam bertenaga nuklir pada forum PBB yang akan dilangsungkan di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat (AS) mulai Senin (1/8/2022) hingga (26/8/2022).
Rep: Fergi Nadira Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Indonesia siap mengusulkan pengaturan program kapal selam bertenaga nuklir pada forum PBB yang akan dilangsungkan di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat (AS) mulai Senin (1/8/2022) hingga (26/8/2022). Konferensi PBB ini akan membahas soal peninjauan Nuclear Non-Proliferation Treaty/Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).

Baca Juga


"Indonesia paper" atau proposal yang diusulkan ini disampaikan dalam 10th  Review Conference of the Parties to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT RevCon) dalam bentuk kertas kerja berjudul “Nuclear Naval Propulsion". Paper ini sekaligus upaya untuk memperkuat sistem dan semangat multilateralisme yang saat ini terus tergerus.

Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Tri Tharyat mengatakan, posisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menambah tingkat kerentanan atas potensi risiko program kapal selam bertenaga nuklir. Oleh karenanya Indonesia mengusulkan pengaturan ketat program ini dan sudah diajukan pekan lalu.

"Dengan latar belakang ini, sejalan dengan prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif, dan sebagai bagian kontribusi pada perdamaian dan stabilitas dunia, Indonesia mengajukan usulan jalan tengah untuk menjembatani perbedaan tajam pandangan negara-negara," ujar Tri dalam press briefing pada Ahad (31/7/2022) malam.

Tri mengakui bahwa perkembangan program kapal selam bertenaga nuklir memang tercatat cukup pesat belakangan. Namun program ini telah menimbulkan perbedaan pro dan kontra.  

Enam negara saat ini memiliki kapal selam bertenaga nuklir diantaranya Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, China, dan India. Sementara Brazil dan Australia sedang dalam proses pembangunan kapal selam bertenaga nuklir.

"Tujuan utama usulan ini adalah untuk mengisi kekosongan aturan hukum internasional terkait kapal selam bertenaga nuklir, membangun kesadaran (raising awareness) atas potensi resikonya, serta upaya menyelamatkan nyawa manusia (saving lives) dan kemanusiaan" kata Tri.

Negara pengusung kapal selam bertenaga nuklir menyatakan bahwa hal ini masih sejalan dengan berbagai perjanjian internasional, seperti NPT dan ketentuan Badan Tenaga Atom Internasional atau IAEA. Sedangkan negara penentang menganggap adanya pelanggaran komitmen non-proliferasi nuklir, yang membuka peluang negara pemilik senjata nuklir untuk berkolusi dengan negara bukan pemilik senjata nuklir.

"Risiko program ini tidaklah kecil. Jika tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi kebocoran nuklir saat transportasi, perawatan, penggunaan, serta pencemaran lingkungan akibat radiasi nuklir yang membahayakan manusia dan sumber daya laut," kata Tri.

 

Selain itu, material nuklir yang digunakan dalam kapal selam militer juga rentan untuk diselewengkan menjadi senjata. Jika tidak diatur dengan ketat, kegiatan ini akan menjadi preseden yang justru akan mendorong proliferasi senjata nuklir. 

Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk PBB Arrmanatha Nasir dalam kesempatan yang sama menjelaskan konferensi tentang NPT tahun ini menjadi penting karena dilaksanakan saat dunia menghadapi situasi global yang sangat dinamis. Ini termasuk berkaitan dengan perang di Ukraina.

Ia mengatakan, Indonesia akan terus mendorong konferensi NPT tahun ini bakal menghasilkan komitmen yang lebih maju dari negara-negara pemilik senjata nuklir mengenai perlucutan senjata nuklir. Arrmanatha melihat saat ini memang terjadi pembelahan, yakni ada negara-negara Barat yang mendukung Ukraina dan negara-negara yang lebih dekat kepada Rusia.

"Ini yang kita mencoba hindari dalam konteks NPT. Karena kalau ini terus berlangsung, termasuk dalam konteks isu NPT, ini akan terus mempersulit proses apapun yang maju di dalam pembahasan multilateral," ujar Arrmanatha.

NPT ditandatangani oleh 191 negara PBB, terutama negara-negara pemilik senjata nuklir dan negara yang tidak mempunyai senjata nuklir. NPT memiliki tiga tujuan, yakni perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi senjata nuklir, dan penggunaan energi nuklir untuk kepentingan damai.

 

Konferensi Peninjauan terhadap NPT digelar setiap lima tahun sekali sejak 1975. Terakhir, konferensi ini digelar pada 2015. Sebab tertunda pada 2020 karena pandemi Covid-19 dan kembali digelar pada Agustus ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler