4 Jenis Pernikahan yang Dilarang Islam, Ini Penjelasannya Menurut Ibnu Rusyd
Pernikahan merupakan ikatan suci yang sangat dimuliakan Allah SWT
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Umat Islam perlu memahami bahwa terdapat jenis-jenis pernikahan yang dilarang dalam agama.
Semua jenis pernikahan yang dilarang itu memiliki dasar hukum menurut Islam dan juga mempertimbangkan sejumlah aspek yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Jenis-jenis pernikahan yang dengan tegas dilarang oleh agama ada empat. Yakni nikah syighar, nikah mutah, meminang atas pinangan orang lain, dan nikah muhalil.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan dasar dan sebab mengapa keempat jenis nikah tersebut dilarang.
Tentang nikah syighar, para ulama sepakat bahwa contoh nikah yang satu ini ialah seorang lelaki menikahkan seorang wanita yang berada dalam perwaliannya kepada seorang lelaki dengan syarat orang tersebut menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya itu dengannya tanpa mas kawin pada pernikahan kedua tersebut.
Sehingga dalam hal ini mas kawinnya adalah alat kelamin yang dipertukarkan tersebut, hal inilah yang membuat para ulama bersepakat bahwa hukum nikah syighar adalah haram. Namun apakah pernikahan seperti itu bisa sah jika disertai dengan pemberian mahar mitsil?
Baca juga: Bukti-Bukti Meyakinkan Mualaf Gladys Islam adalah Agama yang Paling Benar
Menurut Imam Malik, hal demikian tetap tidak bisa dan harus dibatalkan. Baik sesudah atau sebelum terjadi senggama.
Imam Syafii pun setuju dengan pendapat ini, namun demikian beliau berpendapat bahwa jika untuk salah seorang pengantin atau keduanya sekaligus disebutkan ada mas kawin maka pernikahannya dianggap sah dengan mahar mitsil.
Nilai mahar mitsilnya sama atau hampir sama dengan nilai mahar yang pernah diterima oleh saudara, keluarga, dan tetangganya. Dan mas kawin yang telah disebutkan itu tidak berlaku.
Menurut Imam Abu Hanifah, nikah syighar sah dengan memberikan mahar mitsil. Inilah pendapat Al-Laits, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan At-Thabari.
Adapun nikah mutah, sebagian besar sahabat Nabi Muhammad SAW dan semua ulama di kota-kota besar mengharamkan nikah mutah. Tetapi ada riwayat terkenal dari Ibnu Abbas yang menghalalkannya.
Dan pendapat Ibnu Abbas ini diikuti para pengikutnya di Makkah dan di Yaman. Namun tentu saja, berdasarkan hasil kesepakatan ulama, mayoritasnya menyatakan bahwa nikah mutah adalah haram.
Kemudian, nikah yang diharamkan adalah meminang atas pinangan orang lain. Perihal pernikahan ini, setidaknya terdapat tiga pendapat terkaitnya. Pertama, bahwa pernikahannya batal.
Kedua, pernikahannya tidak batal. Ketiga, pernikahannya dibedakan apakah pinangan yang kedua dilakukan sesudah adanya kecenderungan dan mendekati pemufakatan atau tidak. Inilah pendapat dari Imam Malik.
Sedangkan nikah terakhir yang diharamkan adalah nikah muhallil. Yakni pernikahan yang dimaksudkan untuk menghalalkan mantan istri yang telah ditalak ba'in, menurut Imam Malik ini adalah nikah yang batal tetapi menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii, nikah ini adalah nikah yang sah.
Menurut sebagian besar ulama, nikah muhallil (suami atau istri yang meminta seorang laki-laki atau wanita menikahi mantan suami atau istrinya terdahulu yang telah dicerai untuk menghalalkannya kembali dengannya) hukumnya adalah haram dan batal. Di antara mereka adalah Al Hasan, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, Imam Malik, Al Laits, Ats-Tsauri, Ibnu Al Mubarak, dan Imam Syafii.
Contohnya adalah seperti kalimat: "Saya nikahkan kamu sampai dia digauli" atau dengan mensyaratkan: "Jika ia sudah halal, maka pernikahan kalian batal" atau dengan mengatakan: "Jika ia sudah halal untuk mantan suaminya, maka ceraikan ia."
Menurut pendapat yang dikutip dari Imam Abu Hanifah, nikahnya dapat sah namun syaratnya batal. Sedangkan menurut Imam Syafii, untuk contoh yang pertama tadi hukumnya tidak sah.
Dan untuk contoh yang kedua dan ketiga, ada dua versi pendapat. Di antara yang membolehkan nikah tahlil (menyewa laki-laki atau wanita untuk menikahi mantan suami atau istri terdahulu yang telah dicerai agar bisa kembali hidup bersama) tanpa syarat ialah Abu Tsaur, beberapa ulama dari Madzhab Hanafi, Al Muayyad Billah, dan ulama-ulama Madzhab Al Hadi. Kata mereka, hadits-hadits yang melarang tadi kalau memang ada syarat bahwa itu adalah nikah tahlil.
Sedangkan Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa menurut riwayat shahih dari Atha tentang menikahi seorang wanita yang muhallal (yang diminta menikah dengan mantan suami untuk menghalalkannya kembali dengan istrinya yang sekarang yang dulunya telah bercerai dengannya) kemudian dia suka padanya sehigga tetap mempertahankannya sebagai istri, maka hal itu tidak apa-apa. Menurut Asy-Syu'bi, tidak apa-apa nikah tahlil asal bukan pihak suami yang menyuruhnya.