Warga Palestina Mengenang Kerabat dan Keluarga yang Tewas dalam Serangan Israel
Setidaknya 44 orang di Gaza tewas dalam serangan udara Israel pada Jumat.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Dua jam sebelum Israel dan kelompok Jihad Islam Palestina (PIJ) menyepakati gencatan senjata, seorang ibu yang tinggal di Gaza harus kehilangan seorang putra dan tiga keponakannya. Hamed Najim (17 tahun) dan tiga sepupunya yaitu Jamil Najm al-Deen Naijm (4 tahun), Jamil Ihab Najim, (13 tahun) dan Mohammad (17 tahun), terbunuh oleh rudal yang menghantam mereka saat mereka berada di seberang jalan rumah mereka.
Ibu Hamed Najim, Diana, tampak terguncang ketika mengetahui putranya tewas dalam serangan Israel. Dia mengatakan, putranya sangat berhati-hati untuk tidak meninggalkan rumah karena takut dengan serangan Israel.
"Hanya dua jam sebelum gencatan senjata diumumkan, dia mengatakan kepada saya bahwa dia akan keluar rumah selama lima menit dengan sepupunya. Beberapa saat berlalu dan kemudian kami mendengar sebuah bom. Kami berlari keluar untuk menemukan putra saya dan ketiga sepupunya. Mereka semua telah tewas," ujar Diana, dilansir Aljazirah, Selasa (9/8/2022).
Kisah Diana mirip dengan banyak kisah lainnya di Jalur Gaza, setelah Israel melancarkan serangan udara berulang kali dalam operasi. Meski kehilangan putranya, Diana menyatakan kepuasannya dengan kesepakatan gencatan senjata tersebut.
“Mengapa kita di Gaza terkena semua ini? Kita bisa kehilangan anak-anak kita kapan saja seolah-olah hidup kita tidak berharga. Cukup sudah. Kami tidak tahan lagi dan saya tidak ingin ibu-ibu lain di Gaza melihat kepahitan dari apa yang saya alami sekarang,” kata Diana dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Pada Senin (8/8/2022) di kamp pengungsi Bureij di Jalur Gaza tengah, banyak orang berkumpul untuk meratapi Yasser al-Nabaheen (40 tahun) dan tiga anaknya, yang terbunuh dalam pemboman Israel di rumah keluarga mereka. Serangan itu mengakibatkan kematian al-Nabaheen dan dua putranya, Ahmed (13 tahun), Mohamed (9 tahun), dan putrinya Dalia (13 tahun). Putra tertu al-Nabaheen terluka dan sedang dalam perawatan di rumah sakit.
“Saya sedang duduk dengan Paman Yasser di sebidang tanah kecil di seberang rumah kami. Dia bergerak sedikit ke depan ketika sebuah rudal jatuh tepat di atasnya dan anak-anaknya. Mereka semua hancur dalam sekejap," ujar Ahmad, seorang anggota keluarga al-Nabaheen.
Ahmad mengatakan, al-Nabaheen dan anak-anaknya meninggal setengah jam sebelum gencatan senjata disepakati.
“Ini sangat sulit untuk dipahami. Israel terus membom dan membunuh orang dan warga sipil sampai detik-detik terakhir,” kata Ahmad.
Setidaknya 44 orang, termasuk 15 anak-anak di Gaza tewas dalam serangan udara Israel yang terjadi pada Jumat (5/8/2022) dan berlanjut hingga Ahad (7/8/2022). Ratusan orang terluka dan beberapa rumah hancur di Jalur Gaza akibat serangan Israel. Kelompok Jihad Islam menembakkan lebih dari 1.000 roket ke Israel, sehingga membuat penduduk daerah selatan dan kota-kota besar termasuk Tel Aviv melarikan diri ke tempat penampungan.
Israel dan kelompok bersenjata Jihad Islam Palestina (PIJ) telah mengumumkan gencatan senjata, untuk mengakhiri serangan di Gaza yang berlangsung selama tiga hari mulai Jumat hingga Ahad. Gencatan senjata dimulai pada Ahad pukul 23.30 waktu setempat.
Gencatan senjata pada Ahad dimediasi oleh Mesir, dengan bantuan dari PBB dan Qatar. Sekretaris Jenderal Jihad Islam, Ziad al-Nakhala, mengatakan salah satu perjanjian kunci dalam gencatan senjata itu adalah Mesir memberikan jaminan akan membebaskan dua pemimpin Jihad Islam yang ditahan oleh Israel.
Israel memfokuskan operasinya melawan Jihad Islam, yang didukung Iran. Israel melakukan operasi dengan berhati-hati untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kelompok Hamas yang menguasai Jalur Gaza.
Jihad Islam telah menolak berkompromi dengan Israel. Mereka juga menolak untuk mengambil bagian dalam pemilihan Otoritas Palestina. Pertempuran dengan Israel telah memperkuat klaim Jihad Islam untuk berada di garis depan dalam perang melawan Israel.
Gerakan Jihad Islam telah menawarkan kepada visi perlawanan radikal yang tidak dibatasi kepentingan pemerintah kepada rekrutan muda. Ini yang membedakan Jihad Islam dengan Hamas, yang bertanggung jawab atas kehidupan 2,3 juta orang di Gaza. Sehingga Hamaz perlu mempertimbangkan risiko perang dengan hati-hati.
Penangkapan pemimpin Jihad Islam di Tepi Barat telah menggarisbawahi kekuatan gerakan kelompok tersebut di beberapa kota seperti Jenin dan Nablus. Ini menunjukkan kemungkinan terjadinya pertempuran lanjutan. Menurut angka dari Masyarakat Tahanan Palestina, tahun ini setidaknya 400 orang yang terkait dengan Jihad Islam di Jenin telah ditangkap dan 30 lainnya dibunuh oleh pasukan Israel.
"Anda tidak dapat menemukan kumpulan sel militan seperti yang ada di Jenin atau di tempat lain. Itu bermasalah bagi Israel dan Otoritas Palestina," kata mantan pejabat COGAT, otoritas militer Israel yang mengawasi Tepi Barat, Michael Milshtein.
CIA World Handbook memperkirakan jumlah anggota Jihad Islam mencapai lebih dari 1.000 orang. Sementara seorang juru bicara militer Israel memperkirakan, jumlah keseluruhan anggota Jihad Islam sekitar 10 ribu.