Islam di Negeri Gajah Putih Thailand, Semakin Mendapat Ruang dan Peluang
Islam di Thailand semakin mendapat pengakuan di level pemerintahan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Thailand barangkali menjadi negara yang paling unik di kawasan Asia Tenggara. Inilah satu-satunya negeri di kawasan tersebut yang tidak pernah dijajah bangsa Eropa. Meskipun demikian, pengaruh budaya Barat hingga kini menjadi bagian dari identitas kerajaan di Semenanjung Indocina itu.
Secara demografis, Thailand berpenduduk sekitar 66 juta jiwa (Thailandometers, 2021). Kebanyakan masyarakat setempat berasal dari kelompok etnis Thai yang memeluk agama Buddha.
Tidak kurang dari 93 persen total populasi merupakan penganut ajaran tersebut. Bahkan, inilah negara dengan jumlah umat Buddha terbanyak kedua di dunia, yakni setelah Republik Rakyat Cina (RRC).
Walaupun bukan mayoritas, kaum Muslimin merupakan komunitas agama terbesar kedua di Negeri Gajah Putih. Sekira 5 persen penduduk setempat menganut agama Islam.
Umumnya, para pemeluk Islam marak dijumpai di provinsi-provinsi dengan jumlah Melayu yang signifikan. Misalnya, Provinsi Pattani, Yala, Satun, Narathiwat, dan sebagian Songkhla Chumphon.
Menurut Imtiyaz Yusuf dalam artikelnya, Religious Diversity in a Buddhist Majority Country: The Case of Islam in Thailand, hubungan antarumat Islam dan Buddha di Thailand terjalin dengan semangat koeksistensi dan saling mengakomodasi.
Di samping itu, setiap komunitas agama juga identik dengan suku-suku tertentu, yakni masingmasing Melayu dan Thai. Bagaimana mulanya syiar Islam masuk ke Thailand? Yusuf mengatakan, para sejarawan umumnya memiliki tiga jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pertama, Islam dibawa kaum pedagang dari Arab dan Gujarat pada abad ke-10 M. Pendapat kedua menyatakan, dakwah agama tauhid sampai ke Siamnama lama negara Thailand berkat pengaruh Kerajaan Malaka atau Samudra Pasai pada abad ke-15 M.
Terakhir, ahli sejarah menduga, orang-orang Siam pertama yang memeluk Islam berasal antara lain dari para penganut Hindu yang merasa ajaran Alquran tentang monoteisme dan kesetaraan manusia membebaskan mereka dari sistem kasta.
Kini, sekitar 80 persen umat Islam di Thailand bertempat tinggal di daerah selatan negeri tersebut. Wilayah itu berdekatan dengan Malaysia. Dalam sehari-hari, bahasa Melayu sering kali dipakai oleh mereka.
Hingga 2004, konflik acap kali mewarnai daerah Thailand selatan. Bahkan, Bangkok sempat menetapkan status darurat militer di sana. Di sisi lain, langkah-langkah militeristik pemerintah pusat telah menimbulkan luka di hati kaum Muslimin setempat.
Antara 2005-2013, upaya-upaya rekonsiliasi terus digiatkan. Hubungan antara Kerajaan Thailand dan warga Muslim-Melayu di selatan diikhtiarkan kian membaik.
Terlebih lagi, sesudah peristiwa kudeta pada 2006, normalisasi semakin menggema. Penguasa yang baru menerapkan kebijakan reformasi serta pembangunan yang cukup masif di sana.
Dengan semakin akomodatifnya pemerintah, letupan konflik dan kekerasan di Thailand selatan kian berkurang. Hal itu terjadi khususnya se telah sistem otonomi diterapkan sehingga kekuatan lokal dapat menentukan pemerintahan daerah lokal walaupun dalam bingkai ketetapan pemerintah pusat.
Yusuf menjelaskan, kaum Muslimin Thailand secara hukum dilindungi hak-haknya oleh negara. Mereka juga turut ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik setempat.
Pemerintah setempat juga mengakui adanya dewan agama Islam (Chularatchamontri). Fungsinya semisal majelis ulama, yang memayungi berbagai elemen umat Islam setempat. Lembaga itu juga menjembatani komunikasi dan kepentingan antara negara dan rakyat Muslim.
Identitas Islam dipandang sebagai peluang, alih-alih kecurigaan, oleh otoritas setempat. Chandra Purnama dkk dalam artikel di Jurnal Sosial Politik (2021) menjelaskan, Kerajaan Thailand saat ini terus berusaha membangun citra sebagai negara yang ramah terhadap wisatawan Muslim.
Seperti diketahui, pariwisata merupakan salah satu motor pemasukan negeri setempat yang sangat signifikan. Lebih lanjut, Bangkok juga cukup serius dalam mengem bangkan industri halal, khususnya yang bergerak dalam bidang turisme.
Pemerintah Thailand mendirikan Pusat Industri Halal di perbatasan selatan provinsi Pattani. Thai Agricultural Halal Standard (TAS 8400-2007) juga ditetapkan sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan sertifikasi halal, dengan acuan standar halal internasional Codex.
Pasar makanan halal Thailand diketahui berkembang 20 persen setiap tahun. Hal itu menjadikan Thailand sebagai negara peringkat keenam pengekspor makanan halal.
Dalam rangka mempromosikan industri dan pariwisata halal Thailand, pemerintah menjalin kerja sama dengan negara-negara ASEAN, Timur-Tengah, dan rutin mengikuti penyeleng garaan pameran serta forum bisnis internasional.
Upaya pemerintah Thailand berdampak positif terhadap pendapatan nasional dan peningkatan 10 persen jumlah wisatawan Muslim setiap tahunnya, demikian dinukil dari hasil riset di jurnal tersebut.