Inhaler Baru Berpotensi Cegah dan Obati Covid-19, Bagaimana Cara Kerjanya?

Peneliti di AS temukan inhaler yang berpotensi mencegah dan mengobati Covid-19.

EPA
Inhaler. Terapi baru dalam bentuk inhaler berpotensi mencegah dan mengobati Covid-19.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Risiko penularan Covid-19 paling tinggi terjadi di dalam ruang tertutup yang dipadati oleh banyak orang. Akan tetapi, terapi baru dalam bentuk inhaler mungkin bisa membuat orang-orang lebih mudah untuk terlindungi dari Covid-19.

Tim peneliti dari Duke University School of Medicine, Amerika Serikat mengungkapkan bahwa ada sebuah enzim bernama cathepsin L. Enzim ini memungkinkan berbagai virus, termasuk SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19, untuk mengambil alih sel inang.

Di sisi lain, ada sebuah terapi dengan partikel nano yang dapat menyasar dan menekan enzim cathepsin L. Tanpa enzim ini, tim peneliti mengungkapkan bahwa Covid-19 akan kesulitan untuk berkembang di dalam tubuh manusia.

Baca Juga


Terapi ini telah diuji pada hewan dan berhasil memberikan hasil yang baik. Temuan dalam studi ini mengindikasikan bahwa partikel nano tersebut bisa bermanfaat dalam mencegah penularan Covid-19. Di saat yang sama, terapi ini juga dapat digunakan untuk mengobati pasien yang sudah terkena Covid-19.

"Penelitian pada hewan yang terinfeksi Covid-19 menunjukkan bahwa terapi tersebut menurunkan muatan virus dan menghentikan badai imun yang memicu kasus mematikan," ungkap tim peneliti, seperti dilansir The Sun, Selasa (23/8/2022).

Akan tetapi, untuk saat ini terapi tersebut hanya bisa disalurkan melalui infus. Hal ini membuat terapi pencegahan dan pengobatan potensial ini tak bisa digunakan dengan mudah oleh masyarakat nantinya.

Berkaitan dengan hal ini, peneliti senior Prof Qianben Wang menilai terapi dengan partikel nano ini akan lebih baik bila bisa dihadirkan dalam bentuk inhaler. Inhaler ini bisa membantu menyalurkan partikel nano ke dalam paru-paru untuk menekan enzim cathepsin L.

"Penelitian kami mengindikasikan bahwa teknologi ini memberikan strategi unik untuk mengontrol infeksi virus corona dan seharusnya dikejar sebagai pendekatan yang potensial untuk mengobati Covid-19," ungkap Prof Wang.

Mengacu pada studi, terapi yang menyasar enzim cathepsin L ini tampak tak memberikan dampak jangka panjang bagi tubuh. Sebaliknya, efek pengobatan ini paling lama hanya bertahan selama beberapa hari di dalam tubuh.

Waspadai penularan
Tim peneliti mengungkapkan bahwa orang-orang yang terinfeksi varian Covid-19 cenderung mengalami gejala yang lebih ringan. Hal ini membuat mereka tak sadar bila mengalami kondisi tersebut dan beraktivitas seperti biasa. Akibatnya, Covid-19 bisa menyebar dengan mudah tanpa disadari.

Menurut tim peneliti, orang yang terkena Covid-19 masih bisa menularkan penyakit setelah lima hari. Oleh karena itu, isolasi mandiri masih dianjurkan bagi mereka yang terkena Covid-19.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler