Tiga Gejala Covid-19 yang Paling Umum Saat Ini, Anda Merasakannya?
Aplikasi pelacak gejala Covid-19 di Inggris, Zoe, ungkap tiga gejala paling umum.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Covid-19 masih menjadi ancaman, terutama setelah munculnya varian-varian baru, seperti BA.4 dan BA.5. Subvarian baru dari omicron ini pada akhirnya juga memunculkan gejala baru yang paling umum.
Menurut temuan yang diterbitkan oleh aplikasi pelacak gejala Covid-19 di Inggris, Zoe, sakit tenggorokan adalah gejala yang paling umum. Gejala lain yang yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala kemudian batuk terus-menerus yang digambarkan sebagai batuk tidak berdahak dan kering.
Pendiri Zoe, Prof Tim Spector, mengungkapkan bahwa semua gejala tersebut berpotensi disalahartikan sebagai flu biasa. Karenanya, dia memperingatkan untuk lebih waspada ketika mengalami gejala seperti sakit tenggorokan.
"Gejala Covid-19 dan flu hampir sama. Namun, pada Covid, umumnya orang lebih merasa lelah dan sakit tenggorokan, jadi sebaiknya anggap itu Covid-19," jelas Prof Spector, seperti dikutip dari The Sun, Selasa (23/8/2022).
Meskipun ada penurunan kasus di Inggris, para ahli tetap memperingatkan bahwa Covid-19 masih eksis. Wakil direktur program kesehatan masyarakat di Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA), dr Gayatri Amirthalingam mengatakan bahwa Covid-19 belum hilang sepenuhnya, sehingga masyarakat harus tetap waspada.
"Kita sekarang melihat penurunan tingkat kasus Covid-19 dan rawat inap. Ini menggembirakan, tapi Covid-19 belum hilang dan kita ingin melihat penurunan lebih lanjut dalam beberapa pekan dan bulan mendatang," kata dia.
Baca juga: Menkes: Waspadai Munculnya Varian Baru Covid-19
Gayatri menjelaskan bahwa individu berusia 75 tahun ke atas tetap berisiko terkena penyakit parah jika mereka tidak mendapatkan vaksinasi lanjutan. Dia pun menyerukan siapa pun yang tidak up-to-date dengan vaksin mereka untuk segera divaksinasi agar tubuh terlindungi dari virus.
Dua pekan lalu juga terungkap bahwa Covid-19 meningkatkan risiko kondisi seseorang termasuk demensia, psikosis, dan kabut otak (brain fog) hingga dua tahun setelah infeksi. Para ilmuwan di University of Oxford juga mencatat risiko kecemasan dan depresi yang lebih besar, namun ini disebut bisa mereda dua bulan setelah infeksi.
Studi tersebut,menemukan bahwa anak-anak lebih mungkin didiagnosis dengan beberapa kondisi, seperti kejang dan gangguan psikotik setelah tertular SARS-CoV-2. Menurut penelitian, varian virus yang lebih baru (delta dan omicron) lebih mungkin memicu gangguan kesehatan mental yang serius daripada galur alpha.