Desakan Tunda RUU Sisdiknas Terus Berlanjut

RUU Sisdiknas dibuat tergesa-gesa sehingga banyak pasal yang memiliki kelemahan.

Dok. Lembaga Kajian Kebijakan Pendidikan NU C
Bambang Pharmasetiawan, Susetya Herawati, Pontjo Sutowo, dan Wisnu (dari kanan ke kiri) saat menyerahkan naskah akademik sistem kebudayaan dan pendidikan nasional pada 2020 di Komisi X DPR RI.
Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Desakan untuk menunda RUU Sisdiknas masih terus berlanjut. Kali ini datang dari Ketua Lembaga Kajian Kebijakan Pendidikan NU Circle yang juga peneliti bidang pendidikan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) Bambang Pharmasetiawan. Ia sepakat bahwa RUU Sisdiknas memang harus ditunda.

“RUU Sisdiknas dibuat sangat tergesa-gesa sehingga banyak pasalnya yang dibuat memiliki banyak kelemahan,” kata Bambang dalam siaran persnya, Senin (5/9/2022).

Bambang mengakui RUU tersebut memiliki terobosan dalam hal perhatian pada pengakuan guru-guru PAUD dan guru-guru yang belum tersertifikasi, namun jika dilihat secara keseluruhan RUU ini akan menuai banyak masalah. Oleh karena itu, lanjut Bambang, sebaiknya ditunda dulu dan dibahas dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Pelibatan pemangku kepentingan harus dilakukan sejak awal, dan bukan sekadar formalitas untuk memenuhi persyaratan administratif.

“Semua pemangku kepentingan pada bidang pendidikan, baik praktisi, pemerhati, dan pakar, tidak antiperubahan, namun merevisi UU Sisdiknas harus dibahas secara mendalam karena RUU ini menyangkut masa depan bangsa Indonesia yang besar ini,” tegas Bambang.

Bukti bahwa tidak antiperubahan adalah ditulisnya naskah akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional karya gabungan FKPPI, Aliansi Kebangsaan, YSNB didukung NU Circle dan puluhan pakar, pemerhati, dan praktisi pendidikan yang telah menyerahkan naskah tersebut dua tahun lalu kepada komisi X DPR RI dalam sebuah rapat dengar pendapat umum (RDPU).

Bambang memberikan satu contoh masalah pada RUU Sisdiknas tersebut, yaitu dalam narasi di naskah akademik RUU Sisdiknas tertulis "Profil Pelajar Pancasila tidak diturunkan secara eksplisit dari sila-sila Pancasila, melainkan menekankan pada nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan kompetensi yang dianjurkan masyarakat global."

Menurut Bambang, narasi ini sangat membahayakan karena yang dipakai adalah nilai luhur universal (global). “Memang selaras dengan Pancasila, tapi jadinya itu bukan nilai-nilai Pancasila yang seutuhnya. Pasti ada bagian yang hilang,” tukasnya.

Padahal naskah akademik tersebut mengakui bahwa sesuai pandangan Yudi Latif pakar dari Aliansi Kebangsaan bahwa Pancasila adalah satu kesatuan yang terintegrasi. Jika sila-sila Pancasila dilihat secara terpisah-pisah atau parsial, nilai-nilai yang dapat diteladani menjadi dangkal dan tidak bermakna.

"Bagaimana mungkin naskah akademik ini di satu bagian mengakui bahwa sila-sila dalam Pancasila tidak boleh dilihat secara terpisah, namun mengakui juga Profil Pelajar Pancasila tidak diturunkan dari sila-sila Pancasila yang utuh, sungguh kontradiktif dan aneh. Padahal beberapa pakar seperti Yudi Latif dan juga Romo Sastrapratedja sudah mencontohkan menurunkan nilai-nilai untuk bidang pendidikan dari setiap sila Pancasila,” ujar Bambang.

Karena itu, wajar saja pada awal sosialisasi Profil Pelajar Pancasila pernah menuai kegaduhan ketika sila pertama tidak terwakili dan akhirnya direvisi. “Sekarang bisa kita lihat adalah ketiadaan nasionalisme dan kebangsaan di dalam profil ini, malah adanya justru kebhinekaan global. Lalu adakah juga turunan sila Keadilan Sosial di dalam profil tersebut? Membingungkan bukan?” ujar Bambang lebih lanjut.

Sementara Ketua Bidang Pendidikan dan Sosial Budaya Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI–Polri (PP FKPPI) Susetya Herawati menambahkan bahwa dalam penyusunan RUU ini hendaknya merujuk kaidah-kaidah dalam penyusunan kebijakan publik. Selain partisipasi masyarakat yang merupakan komponen penting karena pastinya melibatkan berbagai pakar, praktisi, maupun pemerhati pendidikan juga akan melibatkan pihak-pihak yang menyusun RUU lain yang akan bersinggungan dengan RUU Sisdiknas ini.

Hera, panggilan akrab dari pakar pendidikan dari FKPPI yang juga merangkap sekertaris YSNB (Yayasan Suluh Nuswantara Bakti), itu menambahkan bahwa saat ini masih berlaku UU No. 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara. Dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa keikutsertaan warga negara dalam usaha bela negara salah satunya melalui Pendidikan Kewarganegaraan dalam satu sistem pendidikan nasional di Indonesia. “Padahal dalam RUU ini Pendidikan Kewarganegaraan sudah dihilangkan dan diganti dengan Pendidikan Pancasila, jadi terlihat ketidaksinkronannya,” jelas dia.

Hera yang ikut menulis naskah akademik Sisbuddiknas yang telah masuk RDPU pada tanggal 6 Juli 2020 di Komisi X DPR itu mengatakan, penundaan revisi RUU Sisdiknas ini bukan berarti antiperubahan, namun tetap setuju berubah dengan penuh kehati-hatian merevisinya dan dilakukan analisa yang tepat. “Kita itu harus jadi man of analysis bukan sekadar man of meetings,” sambungnya.

Lebih lanjut Hera yang berprofesi sebagai dosen sebuah universitas swasta itu mengatakan, biaya masuk perguruan tinggi negeri sekarang sangat mahal. Harusnya RUU Sisdiknas ini memperhatikan bagaimana membuat biaya masuk perguruan tinggi negeri terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dengan kualitas pendidikan yang semakin meningkat.

“Ingat Indonesia memasuki era bonus demografi yang bersamaan dengan era globalisasi, bangsa Indonesia ke depan jangan hanya jadi penonton di negerinya sendiri, namun harus menjadi pemain yang aktif,” imbuh dosen kewirausahaan ini.

Menurut Hera, perguruan tinggi dan sektor usaha dengan paradigma Pancasila secara sinergi menjadi driving force kemajuan peradaban Indonesia dan harus tertera dalam RUU Sisdiknas ini. Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar harapan dan impian, tapi merupakan jiwa dan wujud nyata keseharian bangsa Indonesia.

Hera menambahkan, sebuah UU setidaknya akan dapat bertahan untuk kurun 20-25 tahun ke depan. Karena itu penting digarisbawahi konsep pentahelix atau multipihak di mana unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media bersatu padu berkoordinasi serta berkomitmen untuk membangun sumber daya manusia unggul dengan semangat kemerdekaan dan semangat Kampus Merdeka.

"Untuk menghasilkan manusia unggul tidak mungkin dari satu sisi akademiknya saja, tetapi harus ada kerja sama antarberbagai elemen termasuk dunia usaha untuk membangun manusia unggul. Hal-hal ini harus sudah diperhitungkan dalam UU Sisdiknas,” tandas Hera.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler