Mengapa Tuhan Mengizinkan Kejahatan Ada?
Konsekuensi dari kebebasan adalah manusia dapat memilih kejahatan daripada kebaikan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang yang peka ketika dihadapkan dengan besarnya kejahatan di dunia sering bertanya: “Jika ada Tuhan Yang Berdaulat yang penuh dengan cinta kepada makhluk-Nya, mengapa Dia mengizinkan kejahatan ada?”
Pertanyaan ini seringkali mengarah pada argumentasi tentang tidak adanya Tuhan seperti berikut ini:
1. Tuhan ada dan Mahakuasa, Mahatahu dan sepenuhnya Baik.
2. Kejahatan ada.
3. Karena dua di atas secara logis tidak kompatibel, keduanya tidak mungkin benar. Dan jelas bahwa kejahatan itu ada; jadi Tuhan itu tidak ada.
Islam mengajarkan Tuhan itu Maha Kuasa, tetapi bukan berarti Dia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan logika atau tidak sesuai dengan karakter-Nya. Misalnya, Dia tidak membuat lingkaran menjadi bujur sangkar, sambil membuatnya menjadi lingkaran dan bujur sangkar pada saat yang bersamaan. Ini juga merupakan ajaran Islam tentang Tuhan bahwa Dia Maha Sempurna sehingga Dia tidak menderita atau mati, karena itu bertentangan dengan kodrat-Nya.
Pertanyaan kedua, mengapa Dia mengizinkan kejahatan? Jawabannya adalah bahwa Tuhan yang baik dapat mengizinkan kejahatan karena Dia memiliki alasan yang baik. Dan kita tidak perlu mengetahui alasan Tuhan mengizinkan kejahatan, karena Tuhan berkata dalam Quran bahwa kita hanya diberi sedikit pengetahuan.
Oleh karena itu, sudah cukup jika kita mengetahui kemungkinan alasan Tuhan mengizinkan kejahatan ada. Dan dari Alquran kita dapat memahami bahwa Tuhan telah memberikan kehendak bebas kepada manusia, untuk menguji mereka untuk membuktikan siapa yang lebih baik dalam perbuatan baik.
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya:35)
Salah satu konsekuensi dari kebebasan adalah bahwa manusia dapat memilih kejahatan daripada kebaikan. Jika mereka secara paksa dicegah untuk memilih kejahatan, tidak akan ada kebebasan. Artinya, Tuhan tidak dapat memiliki makhluk bebas yang Dia paksa untuk memilih hanya yang baik; karena itu akan melibatkan ketidakmungkinan logis.
Mengapa Bencana Alam?
Orang mungkin bertanya mengapa kejahatan alam seperti gempa bumi diizinkan, di mana kehendak bebas tidak berperan. Jawabannya ada pada hubungan sebab akibat yang merupakan bagian dari alam.
Kita tahu bahwa tindakan kita sebagian besar dimotivasi oleh harapan untuk mewujudkan hasil yang diinginkan. Ini hanya mungkin jika tindakan kita benar-benar membuahkan hasil. Kemudian tindakan kita menjadi bermakna, dan semoga kita bisa terlibat dalam perbuatan baik.
Kita tahu api berguna karena membakar dan membantu kita memasak makanan; tetapi kualitas api yang sama dapat membakar rumah. Artinya, hal-hal yang sangat berguna bagi kita pasti dapat menyebabkan kerusakan juga.
Dari sudut pandang Islam, kejahatan itu seperti salah satu dari saudara kembar, yang lain baik, karena kebaikan di bumi secara ironis terkait dengan kejahatan. Karena, kebaikan di dunia ini tidak mungkin ada tanpa keburukan, karena keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama, dan keduanya adalah konsep yang relatif.
Mengganti kejahatan itu, atau ketiadaan kebaikan, dengan kebaikan. Ketidaksempurnaan dan kekurangan dunia ini memberikan banyak kesempatan bagi kita untuk melakukan upaya kreatif untuk perbaikan, dan ini membuat hidup dan pekerjaan kita bermakna.
Singkatnya, baik dan jahat sama-sama diperlukan untuk perkembangan spiritual manusia. Agar roh tumbuh, ia harus mengatasi kejahatan dan melakukan kebaikan.
Allah berfirman dalam Alquran yang artinya:
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik..” (QS. Fussilat:34)
Artinya, kita harus melawan kejahatan dengan kebaikan. Tetapi untuk melakukan ini, kesabaran yang luar biasa diperlukan. Adapun orang-orang beriman, kebaikan tidak merusak mereka, dan kejahatan tidak membuat mereka putus asa.
Salah satu bencana alam adalah banjir yang mengakibatkan banyak orang, termasuk anak-anak, menderita. Orang percaya dalam konteks ini tidak mengutuk Tuhan, karena mereka menganggapnya sebagai ujian iman mereka. Jadi mereka pergi keluar untuk membantu para korban dengan cara apa pun yang mereka bisa.
Jika mereka sendiri menjadi korban, mereka bersabar dan mencari pengampunan dari Tuhan atas kegagalan mereka sendiri dan berdoa untuk perlindungan. Dan dalam perbuatan ini, mereka mendekatkan diri kepada Allah dan berhasil dalam ujian itu.