Mencari Jalan Tengah di Cilegon dalam Kasus Penolakan Pembangunan Gereja
Kasus penolakan pembangunan gereja di Cilegon sejatinya bukan kasus baru.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Arskal Salim, MA, Ph.D, Kapuslitbang Lektur Kemenag RI
Aksi publik di Cilegon yang menolak kehadiran gereja HKBP dalam sepekan ini cukup menyita perhatian masyarakat di tengah kenaikan harga BBM yang juga meresahkan. Kasus penolakan pembangunan gereja di Cilegon sejatinya bukan kasus baru; penolakan serupa berawal di pertengahan tahun 70-an. Kasus ini kembali muncul sebagai respon atas kebutuhan ribuan penganut agama Kristen yang menghendaki beribadah di rumah ibadah yang dibangun di kota tempat mereka tinggal yaitu Cilegon.
Dibandingkan kota-kota lain di Banten yang umumnya memiliki tempat ibadah yang majemuk, di Cilegon tidak ada satu gereja pun yang berdiri. Untuk beribadah setiap Minggu, penganut Kristen di Cilegon harus pergi ke Kota Serang yang jarak tempuhnya satu jam. Sebagai bagian dari wilayah Provinsi Banten, ketiadaan rumah ibadah selain masjid menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah Cilegon memberlakukan kondisi khusus di mana eksistensi simbol agama selain Islam tidak diperbolehkan?
Sejarah mencatat kota-kota pesisir utara Jawa seperti Banten, Cirebon, Demak, dan sebagainya, sangat terbuka pada hadirnya bangsa dan etnis yang beragam budaya dan agama. Hingga akhir abad ke-17, interaksi interkultural antar bangsa dan agama yang dibalut kegiatan perdagangan berlangsung secara damai, dan menjadi bukti terwujudnya koeksistensi sosial pada masa itu. Jadi cukup mengejutkan bagi Cilegon yang merupakan bagian dari Banten, untuk menjadi demikian homogen terhadap keberadaan rumah ibadah agama selain Islam.
Padahal, contoh koeksistensi sosial keagamaan terlihat jelas di Banten pada akhir abad ke-16. Banten yang merupakan simpul dari jaringan perdagangan global di Asia menarik bangsa-bangsa dunia untuk singgah. Lalu lalang para pedagang, misionaris, biksu, juru bahasa, ke wilayah Banten saat itu, berdampak pada munculnya kebutuhan akan adanya rumah peribadatan sesuai agama mereka (Ariwibowo 2021).
Diceritakan pula orang-orang Tionghoa di Banten memiliki kawasan hunian di dekat pelabuhan dan melaksanakan upacara adat dan peribadatan di luar benteng. Masjid Agung Banten Lama dan Vihara Avalokitesvara yang berdiri berdampingan, menyimbolkan koeksistensi rumah ibadah telah berlangsung sejak lama. Ini merupakan indikasi Kesultanan Banten di masa itu merupakan daerah yang terbuka dan kosmopolitan.
Koeksistensi Saat Ini
Secara demografis, BPS mencatat umat beragama di Cilegon pada tahun berjalan ini terdiri dari Muslim (444,965 jiwa), Kristiani (7,003 jiwa), Katolik (1,823 jiwa), Buddhis (1,676 jiwa), dan Hindu (244 jiwa). Keberagaman agama ini rupanya tidak selaras dengan keberagaman tempat ibadahnya.
Di kota ini, hanya ada tempat ibadah bagi Muslim yaitu masjid. Terdapat 382 masjid dan 297 musholla di kota ini (tirto.id, 15 Juli 2022), namun tidak ada satupun tempat ibadah (yang berizin) bagi pemeluk agama lain.
Di sinilah muncul pertanyaan: Mengapa koeksistensi pemeluk agama di kota Cilegon tidak selaras dengan koeksistensi tempat peribadatannya? Bagaimana bisa fakta heterogenitas beragama di Cilegon diabaikan begitu saja oleh sebagian penduduknya? Mengapa rumah ibadah suatu agama kemudian ditolak, sedangkan ada ribuan pemeluknya yang memerlukan peribadatan?
Peristiwa penolakan pendirian gereja di Cilegon merupakan bagian isu koeksistensi, yang resolusinya meniscayakan adanya mutual respect (saling menghormati perbedaan) dan toleransi aktif terhadap pemeluk agama lain. Diperlukan komitmen yang kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah secara damai tanpa kekerasan.
Motto kota Cilegon yaitu “Akur, sedulur, jujur, adil, makmur” seharusnya tidak hanya menjadi asesoris belaka. Akur dan sedulur yang merupakan dua nilai utama dari koeksistensi seyogyanya menjiwai perilaku sosial keberagamaan di antara penduduk kota Cilegon. Hal ini dapat ditandai dengan adanya kelapangan dada terhadap pendirian rumah ibadah agama lain.
Tawaran (re)solusi
Adakah solusi untuk menjawab masalah koeksistensi rumah ibadah di kota Cilegon itu? Pemerintah melalui Kementerian Agama mencoba menawarkan suatu jalan keluar. Inisiatif Menteri Agama, Gus Yaqut untuk bertemu wali kota sesungguhnya adalah sebuah undangan dialog bagi pihak-pihak yang terkait.
Dialog antarpemuka agama diharapkan dapat mengkomunikasikan perspektif kedua belah pihak, menemukan middle ground (jalan tengah), meminimalisir ketegangan di level grassroot (akar rumput) dan akhirnya merumuskan komitmen bersama untuk hidup berdampingan secara akur, sedulur, rukun dan damai.