Kisah Abu Yazid Al-Busthami dan 80 Pemabuk
Abu Yazid Al-Busthami seorang sufi abad II Hijriyah. Ia memiliki gelar kehormatan Sultanul Arifin
sumber: alif.id
NYANTRI--Pada suatu masa, hidup seorang tokoh sufi abad III Hijriyah bernama Abu Yazid Al-Busthami. Ia lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tepatnya pada tahun 188 Hijriyah. Nama lengkapnya yakni Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Ia memiliki gelar kehormatan yakni Sultanul Arifin (rajanya orang yang mengenal Allah). Sebagai sufi, sudah barang tentu ia seorang ahli ibadah, zuhud, dan salik. Dikisahkan, tatkala ia bermunajat kepada Allah swt dan hanyut dalam samudra cintaNya, ia mendapati dirinya secara khayali berada di surga. Dalam hatinya bergumam: “Ini surga tempat kekasihku (Muhammad Saw). Suatu saat aku dapat hidup sebagai tetangganya di surga sana”.
Sesaat tersadar, ia lalu dikejutkan dengan suara yang menderu di telinganya. Suara gaib itu memberitahu ihwal si fulan bin fulan yang hidup di sebuah kampung. Kelak di akhirat orang tersebutlah yang akan menjadi tetangganya di surga. Mendengar suara itu, ia sejenak terpekur dan lantas beringsut dari tempat munajatnya, bergegas menuju kampung si fulan bin fulan. Imaji seorang yang akan ditemui berkelebat dalam kepalanya, jantungnya pun turut berdegup kencang. Tempat kampung yang dituju terbilang jauh. Ia mesti melewati hamparan padang pasir kering kerontang nan panas. Sungguh pun begitu, Abu Yazid Al-Busthami tak patah arang, dengan menaiki unta sebagai moda transportasi ia berhasil tiba di kampung yang dituju.
Setibanya di sana, Abu Yazid Al-Busthami segera mencari orang dan bertanya ihwal si fulan bin fulan yang dicarinya. Abu Yazid Al-Busthami bertanya “Apakah engkau sekalian mengenal seorang bernama si fulan”. Lalu orang kampung seraya menjawab sedikit membentak, “Apa perlu tuan mencari si fulan yang gemar maksiat lagi suka bermabuk-mabukan. Bukankah tuan seorang syekh! Engkau lelaki yang penuh dengan kesalehan. Jika tuan ingin berjumpa dengan si fulan, maka tuan bisa jumpa ia di kedai itu. Jawaban dari orang kampung itu membuat Abu Yazid kaget bukan kepalang. Kelelahan dan keletihan yang semula tak dirasa kini menjamah tubuhnya seturut rasa kecewa.
Ia menerka-nerka, seraya bergumam dalam hati, “Ah, barangkali suara yang membisikku perihal si fulan itu sejenis bisikan setan”. Ia sejenak terpekur, dan melayangkan pandangan ke kampung. Dipandangnya pula untanya yang tengah berbaring dengan nafas yang setengah tersengal-sengal. Lantas Abu Yazid Al-Busthami berujar, “Jika aku patah arang dan kembali pulang, sama halnya aku melakukan hal yang sia-sia. Aku musti mencari dan bersua si fulan itu”. Maka dengan hati yang ngungun, Abu Yazid Al-Busthami berjalan menuju kedai yang ditunjukan orang-orang kampung. Sesampainya di sana, Abu Yazid mendapati puak yang tengah mabuk berbilang sekira empat puluh laki-laki.
Abu Yazid Al-Busthami seketika terperanjat, matanya yang semula sayu segera terbelalak. Kali ini ia merasa benar-benar patah arang. Rasa getun, kecewa, pilu, marah serta rasa-rasa yang lain bersatu pada dalam hatinya. Ia segera melangkahkan kaki meninggalkan kedai puak pemabuk itu. Ketika membuka pintu untuk keluar, datanglah suara yang memaksakan dirinya untuk kembali berputar arah. “Hai Abu Yazid Al-Busthami, Syaikhul Islam, mengapa kau buru-buru beranjak dari kedai ini? Adakah yang engkau tak sukai dengan kedai ini? Bukankah engkau mencari seorang yang akan menjadi tetanggamu kelak di surga, kenapa engkau tinggalkan saja tanpa salam?”.
Abu Yazid Al-Busthami terperanjat, sejurus kemudian ia merespon pertanyaan itu dengan pertanyaan balik. Abu Yazid Al-Busthami berkata, “Hai tuan, mengapa engkua bisa tau apa yang ada dalam isi hatiku. Padahal aku tak memberi tahu ihwal peristiwa khayali itu”. Belum sampai kata terucap dalam hati Abu Yazid Al-Busthami, tiba-tiba si fulan berucap lagi, “Hai, Abu Yazid Al-Busthami, Syaikhul Islam, tak perlu kau takjub dan berpikir tentang kenapa aku tahu ihwal maksud kedatanganmu. Ketahuilah, semua itu terjadi atas izin Allah Swt. Dialah yang telah memberitahu diriku akan maksud kedatanganmu. Maka masuk dan duduklah bersamaku.
Abu Yazid berkata, “Hai fulan, apa maksudmu dengan semua ini?
Si fulan menjawab dengan nada santai, “Bukankah engkau seorang laki-laki yang ingin masuk surga sendirian tanpa mengajak teman. Ketahuilah, sebenarnya yang berada di kedai ini semuanya berjumlah delapan puluh orang pemabuk. Tetapi yang empat puluh orang telah aku nasihati dan bertaubat dan memohon ampun kepada Allah Swt. Empat puluh orang selebihnya masih bermabuk-mabukan. Tugasmu sekarang yakni menasihati mereka agar bertaubat. Perbincangan Abu Yazid Al-Busthami dan si fulan riuh mengalir bagai gerimis, sayup-sayup percakapan keduanya terdengar oleh empat puluh orang pemabuk itu. Mereka terkesima lantas tersadar bahwa laki-laki itu Abu Yazid Al-Busthami, Syaikhul Islam. Maka empat puluh orang pemabuk tersebut seketika bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepadanya.
Dari kisah di atas juga menunjukkan bahwa hendakanya menilai manusia jangan hanya sebatas dzahiriyah saja, karena dzahir sering kali menipu manusia. Apa yang dianggap buruk oleh manusia belum tentu sama di hadapan Allah Swt. Kemudian, kisah tersebut memberi pemahaman bahwa dakwah tak melulu terhadap orang yang sudah berkelakuan baik, melainkan juga terhadap orang yang dalam maksiat juga perlu mendapat sentuhan dakwah. Darinya juga kita dapat merengkuh hikmah, bahwa hidayah itu datangnya dari Allah Swt kepada siapapun yang Dia kehendaki, meskipun orang tersebut berlumuran dosa.
Chubbi Syauqi Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Prodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto