Mengapa Kebijakan Penghapusan Tenaga Honorer pada 2023 Berpeluang Dibatalkan?
Menpan-RB Azwar Anaz berencana mencarikan solusi jalan tengah atas keberatan pemda.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mengungkap peluang membatalkan rencana penerapan kebijakan penghapusan tenaga honorer. Keberatan pemerintah daerah menanggung beban biaya gaji ASN Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) setelah diangkat dari status honorer menjadi salah satu alasan pembatalan.
Menurut Menpan-RB Abdullah Azwar Anas, besaran gaji PPPK memang mengacu pada upah minimum regional (UMR). Sedangkan honorer, besaran gajinya tak diatur sehingga bebas ditetapkan oleh pemda masing-masing.
"Teman-teman bupati teriak sejak PPPK ini harus digaji setara UMR. Begitu gajinya sesuai UMR dan dibebankan ke daerah, maka melonjak anggaran pemda untuk membiayainya," kata Anas dalam rapat bersama Komite I DPD RI, dikutip Sabtu (17/9/2022).
Anas menjelaskan, sebelum adanya status PPPK, pemda masih sanggup menyediakan anggaran gaji. Tapi, begitu hadir PPPK, anggaran pemda tersedot sampai 30 persen untuk gaji pegawai.
"Ini yang jadi masalah. Akibatnya, banyak jalan rusak di daerah karena anggarannya sudah tersedot ke gaji PPPK," ujar eks Bupati Banyuwangi ini.
Menurut Anas, kebijakan penghapusan honorer pada 2023 banyak ditentang kepala daerah juga karena mereka merasa geraknya terkunci tak bisa lagi merekrut tenaga honorer baru. Di sisi lain, para kepala daerah itu punya janji kerja dan janji politik kepada pemilihnya.
Menurut Anas, jika kebijakan ini dipaksakan, maka kepala daerah akan tetap merekrut tenaga honorer dengan cara "kucing-kucingan". Dirinya merasakan sendiri hal ini saat menjadi Bupati Banyuwangi dua periode, 2010-2021.
Ketika itu, Anas melarang anak buahnya merekrut tenaga honorer baru. Adapun untuk tenaga honorer yang sudah ada, Anas menyediakan pagu gaji Rp 25 miliar.
"Saya kaget jelang akan akhir (masa jabatan), ternyata biaya gaji sudah naik menjadi Rp 45 miliar. (Rekrutmen baru) honorer memang tidak ada, tapi dititipkan di kegiatan," ujarnya.
Azwar mengatakan, pihaknya kini tengah menyiapkan solusi jalan tengah, yakni memperbolehkan pemerintah daerah merekrut tenaga honorer baru hingga masa jabatan kepala daerahnya berakhir. Tetapi, solusi ini belum ditetapkan secara resmi, masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut.
"Ini solusi. Kalau tidak ada solusi, marah semua bupati-bupati itu," kata Anas.
Deputi Bidang SDM Aparatur Kemenpan-RB Alex Denni menambahkan, pemda sebenarnya tak mempersoalkan status pekerja honorer atau PPPK. Tapi, mereka memang keberatan soal pembiayaan gaji PPPK yang sesuai UMR.
Sebagai solusinya, ujar dia, Kemenpan-RB kini sedang meninjau ulang besaran gaji PPPK. Besaran gaji PPPK yang berlaku saat ini mengacu pada tabel level jabatan.
"Kalau tabel (gaji) itu kita ganti dengan range, maka rentang gajinya bisa kita tarik agak ke bawah. Apakah itu Rp 500 ribu, Rp 1 juta, atau Rp 1,5 juta, nanti kita sepakati," ujar Alex dalam kesempatan sama.
"Kalau besaran gaji ini bisa disepakati, tentu tidak ada isu lagi," imbuhnya.
'Jatah preman'
Alex melanjutkan, mengurangi besaran gaji pegawai akan membuat pemda tak lagi keberatan mengalihkan status honorer menjadi PPPK, sekaligus bisa mengatasi persoalan penyelewengan gaji. Sebab, pihaknya menemukan banyak honorer yang gajinya dipotong untuk 'jatah preman'.
"Persoalan gaji honorer ini, mohon maaf, banyak sekali moral hazard-nya. Gaji honorernya Rp 300 ribu, tapi dicatat Rp 500 ribu. Ada Rp 200 ribu 'jatah premannya'," ungkap Alex.
Alex menambahkan, ketika pemda sudah mau mengubah status honorer menjadi PPPK, maka persoalan suap juga bisa diatasi. Selama ini, pihaknya menemukan fenomena orang harus bayar untuk bisa jadi honorer.
"Banyak orang ditawarkan masuk jadi honorer, lalu ada uang pendaftarannya. Ini kan sangat luar biasa moral hazard-nya," kata Alex.
Alex menuturkan, pengaturan soal PPPK ini akan dimuat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Kesejahteraan PPPK. Beleid ini sedang dibahas bersama dengan semua pemangku kepentingan.
Untuk diketahui, pemerintah pusat lewat UU ASN tahun 2014 sudah menyatakan bahwa ASN hanya ada dua jenis, yakni PNS dan PPPK. Sedangkan larangan merekrut tenaga honorer baru sudah ditetapkan pemerintah pusat sejak tahun 2005 silam.
Kendati demikian, pemerintah daerah terus saja merekrut honorer baru. Pada 2012, tercatat ada sekitar 438 ribu tenaga honorer di seluruh Indonesia. Kini, jumlahnya telah berlipat ganda menjadi sekitar 1,2 juta hingga 1,3 juta orang.
Kini, pemerintah pusat mulai menata keberadaan tenaga honorer yang kadung jutaan orang itu. Tahun ini, pemerintah pusat telah menetapkan 530 ribu lowongan atau formasi dalam seleksi PPPK.
Menpan-RB sebelumnya, Tjahjo Kumolo, menyatakan bahwa keberadaan tenaga honorer harus dihapus pada 28 November 2023. Hal itu disampaikan lewat surat edaran nomor B/185/M.SM.02.03/2022, yang diteken Tjahjo pada 31 Mei 2022.
Tjahjo mengatakan, penghapusan pegawai non-ASN atau honorer merupakan amanat UU No. 5/2014 tentang ASN. Penghapusan ini juga mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Sebelumnya, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) memberikan sejumlah usulan solusi terkait nasib tenaga honorer, yang keberadaannya akan dihapus tahun depan. Salah satunya adalah usulan agar mutasi ASN dibatasi terlebih dahulu.
Ketua Umum Apeksi Bima Arya Sugiarto menjelaskan, penyelesaian tenaga honorer dengan cara menjadikan mereka ASN lewat seleksi PPPK perlu pemetaan formasi. Tetapi, pemda kesulitan melakukan pemetaan jumlah formasi yang dibutuhkan jika ASN yang ada selalu dimutasi dalam jumlah besar.
"Kalau mutasi berjalan terus, sulit bagi kita untuk beri pemetaan formasi," kata Bima, Selasa (13/9/2022).
Sementara itu, Ketua Umum APKASI Sutan Riska Tuanku Kerajaan menyoroti kebijakan Menpan-RB yang memberikan nilai afirmasi kepada honorer tenaga kesehatan dan guru dalam seleksi PPPK. Dia mempertanyakan bagaimana nasib tenaga honorer pelaksana.
Honorer pelaksana ini seperti petugas pemadam kebakaran, petugas dinas perhubungan, Satpol PP, protokol, dan sektor lain. Menurutnya, honorer pelaksana ini harus mendapatkan nilai afirmasi pula.
"Apakah mereka akan diajukan pada formasi PPPK, outsourcing, atau bagaimana?" ujar Sutan Riska.
Pemerintah sebelumnya telah menetapkan bahwa keberadaan tenaga honorer akan dihapuskan paling lambat pada 28 November 2023. Padahal, saat ini masih terdapat sekitar 1,3 juta tenaga honorer yang tersebar di seluruh instansi pemerintahan.
Untuk memastikan jumlah tenaga honorer, pemerintah kini tengah melakukan pendataan ulang. Setiap instansi pemerintahan harus memasukkan data tenaga honorernya ke laman https://pendataan-nonasn.bkn.go.id. Di sisi lain, para tenaga honorer harus membuat akun dan registrasi di laman tersebut untuk melengkapi data masing-masing.
Kemenpan-RB beberapa waktu lalu menyatakan, tenaga honorer yang masuk pendataan ini bukan berarti otomatis diangkat menjadi ASN. Pendataan ini lebih bertujuan kepada mencari solusi nasib honorer berdasarkan kondisi di masing-masing instansi.